Mencari Hilal

384 36 5
                                    


Kata Reno, dia baru seminggu tinggal di Komplek Teratai. Itu termasuk perumahan elit nomor 1 di area ini. Rumahnya gedongan dan pekarangannya luas. Terletak kisaran 500 meter di sebelah utara rumah ini. Tentu jauh kelasnya jika dibandingkan dengan rumah yang aku tempati ini. Bagai bumi dan langit.

Setelah tahu ternyata rumah kami berdekatan, Reno jadi sering main ke rumah. Tak jarang bahkan sampai membuat hubunganku dengan lelakiku memanas. Reno malah merasa puas ketika melihat aku berseteru dengan si Bocil. Benar-benar tetangga baru yang tidak berakhlak, bukan?

Ah, andai saja menyantet orang itu adalah perbuatan legal, mungkin sudah aku kirim santet yang best seller ke rumah Reno. Di lain waktu dia menjadi pribadi yang sangat menyebalkan, meski sebenarnya aslinya baik.

Sejak kehadiran Reno, lelakiku semakin over protektif padaku. Ke mana pun selalu diantar atau dijemput. Bahkan pergi ke warung yang ada di ujung gang pun, dikawalnya. Awalnya merasa risih, tapi lama-lama mulai terbiasa dengan perlakuan konyolnya itu.

"Eits, mau ke mana?" Dia merentangkan tangan di hadapanku. Aku pun berhenti di ambang pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah.

"Mau nyapu halaman depan."

"No, no, no!" larangnya sambil menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan.

"Udah, Mimu ngerjain pekerjaan yang ada di dalam rumah aja. Biar urusan nyapu halaman depan Miku yang hendel."

"Ayolah, Miku. Aku bosan di dalam rumah terus. Aku mau mengurus tanaman di depan," rengekku.

"Nanti kalau ada Renosaurus gimana?"

"Ya elah, Miku. Udah napa sih, jangan cemburu sama Reno terus. Lagian nih, ya, kalau pun ada satu juta manusia seperti Reno menggodaku, aku gak tertarik."

"Masaaa?"

"Iya. Hatiku cuma buat kamu seorang." Aku bingkai wajah imutnya.

"Jadi, jangan pernah insecure sama Reno. Oke!"

"Dih, siapa yang insecure? Mana ada aku insecure sama laki-laki berewokan macam dia."

"Baguslah kalau begitu. Karena di mataku, cuma kamu yang paling imut. Reno itu bukan tipeku."

"Masaaa, terus yang zaman dulu tergila-gila sama aku itu siapa, yaaaa?" Itu suara Reno yang ada di teras. Binar bahagia di wajah si Bocil seketika berubah kesal.

Bocil langsung melangkah tergesa ke depan, dan mengusir Reno diiringi dengan dorongan kasar. Namun, Reno bertahan dengan cara berpegangan pada tiang teras.

"Kalem dong, gua ke sini cuma mau ngasih ini!" Dia memperlihatkan paper bag warna cokelat.

"Apaan tuh?" tanyaku sambil melipat tangan di dada, di ambang pintu.

"Ini spaghetti. Makanan horang kayah. Nih, buat kalian. Baik, kan, gua?" Begitulah Reno, kalau ngasih sesuatu selalu diiringi dengan kesombongan yang hakiki.

"Gua kagak butuh makana elu! Bawa balik sono!" teriak si Bocil.

"Gua kagak ngasih elu Bocil! Gua ngasih bini elu sama si Belang," balas Reno membuat si Bocil kian kesal. Belang, kucing kesayangan Miku.

"Kucing gua kagak doyan makanan kek gitu!"

"Ya udah, buat bini lu kalau gitu. Nih, ambil Fa!"

Aku melangkah mendekat. "Boleh ambil gak?" tanyaku meminta persetujuan Miku.

"Serah!" jawabnya ketus.

"Ini rejeki, gak boleh ditolak!" ujar Reno. Aku mengambil alih paper bag itu.

"Udah gak ada keperluan lagi, 'kan? Ya udah, pulang sono!" usir si Bocil.

"Gua ke sini udah bawa buah tangan, masa kagak dikasih minum. Disuruh duduk dulu kek, bentaran."

"Kagak ada minum buat elu. Kursi gua lagi males elu dudukin. Udah sono pulang!"

"Suami elu nih, Fa. Resek banget, nih." Reno mengadu.

"Sama reseknya kek elu! Ya udah, kakak adekan aja kalian berdua." Mereka berdua kompak bergidik geli.

"Ogah! Najong!" Lagi, mereka berdua kompak. Lalu saling lirik sinis. Aku mengatupkan bibir menahan tawa.

"O, Tuhan, tolong kirimkan UFO ke sini supaya menyedot Renosaurus," ucap Bocil sambil menengadahkan tangan dan memejamkan mata. Aku mengamini. Kemudian kami berdua lanjut adu telapak tangan. Tos.

"Wah, suami istri udah mulai kompak, nih. Parah lu pada. Udah dikasih makanan malah doain gua disedot UFO lagi. Dahlah, gua balik aja," sungut Reno sambil berlalu. Dia beneran pulang.

Aku bergegas masuk ke dalam. Memakan satu kotak spaghetti. Tak lama bocil menyusulku ke meja makan.

"Kamu mau, gak?" tawarku.

"Enggak, ah!" ketusnya.

"Ya udah, padahal ini enak, loh." Aku lanjut menyuapkan satu sendok spaghetti ke mulut dan mengunyahnya dengan khidmat.

"Masa sih, sini coba dikit," pintanya kemudian. Dia pun menyuapkan satu suapan.

"Hmmm, iya enak. Ya udah, yang ini buat aku." Dia merebut seporsi spaghetti di tanganku lantas melahapnya hingga tandas.  Dia memang selalu begitu kalau dikirimi makanan oleh Reno. Awalnya gak mau, terus pura-pura nyoba sedikit. Endingnya habis juga.

***** 

Weekend kali ini kami berdua gabut banget. Gak tahu mesti ngapain. Mana kebetulan libur mulai hari Jumat hingga Minggu. Kita sama sekali gak ada planning mau liburan. Satu hari dihabiskan untuk beberes rumah. Hari Sabtu dan Minggu, masih gak tahu mau ngapain.

"Gimana kalau kita bertandang ke rumah Ibu sama Bapak, aja?" Akhirnya tercetus sebuah ide. Bocil menjentikkan jarinya, dia setuju. Kami pun lantas berkemas dan langsung berangkat. Kebetulan kami sudah lumayan lama gak bersua dengan Ibu dan Bapak. Terkendala kesibukan masing-masing.

*****

Saat sampai di area perumahan Ibu, dan melintasi sebuah pos ronda, aku tersenyum. Ingatanku kembali pada masa sebelum menikah dengan si Bocil.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" Aku tersentak. Rupanya dari tadi dia memperhatikan aku lewat spion. Ck!

"Enggak!"

"Oh, inget pas dulu itu, ya?" tebaknya. Dia lantas berhenti tepat di depan pos ronda.

"Ngapain, sih, berhenti di sini?" kataku pura-pura ketus.

"Turun dulu!" titahnya. Setelah sama-sama turun dari motor, dia menuntunku duduk di pos ronda yang penuh dengan kenangan itu.

"Kita bernostalgia dulu," katanya. Mata kami bertemu. Cepat, aku memalingkan wajah saat dia mengedipkan sebelah matanya.

Di pos ronda ini, dulu, seringkali aku dibuat kesal sekaligus baper oleh si Bocil. Tapi, lebih sering kesalnya, sih. Suatu hari, pernah sepulang ngantor aku kehujanan dan terpaksa meneduh di pos ronda ini. Lalu tiba-tiba bocil datang membawa payung. Dia bilang sengaja menjemput aku, jodohnya. Aku merebut payung itu lalu kukenakan sendiri. Dia pun berlari menyusul dan akhirnya berpayung berdua.

Setelah mengantarku sampai rumah, dia bakal pulang membawa payungnya. Lalu sebelum pulang dia bakal bilang, "Sampai bertemu di pelaminan, Mbak." Saat itu aku akan sangat kesal. Melemparnya dengan sepatu, sendal, bahkan pernah melemparnya dengan bunga sekaligus potnya sampai pecah, dan aku dimarahin oleh Ibu. Saat itu terjadi, pasti bocil sudah melarikan diri.

*****

Sampai di rumah, Ibu langsung menyambut kedatangan kami layaknya tamu agung. Makanan dan minuman sudah tersaji tinggal eksekusi. Tak lama Bapak keluar dari toilet, dan langsung berbincang di ruang tengah.

"Gimana, sudah kelihatan hilalnya belum?" tanya Bapak. Sontak membuat aku, Ibu dan bocil saling tatap. Bingung.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang