Bianglala si Biangkerok

406 39 8
                                    

Saat kami bertiga tengah kebingungan. Bapak malah membuat gerakan seolah tengah menimang bayi. Ibu tersenyum, aku dan bocil saling lirik.

"Jadi gimana? Sudah ada tanda-tanda belum?" lanjut Bapak. Bocil cengengesan, menggaruk tengkuk yang aku yakini tidak gatal. Aku menyepak kakinya lirih, memberi isyarat agar dia saja yang  menjelaskan pada Bapak. Dia malah memberiku isyarat agar aku yang menjelaskan. Akhirnya kami berdua cuma nyengir ke arah Bapak dan Ibu.

"Usia pernikahan kalian sebentar lagi sudah mau setahun, loh. Memangnya kalian gak pengen cepet-cepet punya anak?" tanya Bapak. Aku dan bocil lagi-lagi cuma saling lirik, lalu tersenyum ke arah Bapak dan Ibu.

Kami berdua terlalu asyik menjalani hari demi hari layaknya orang pacaran. Sampai lupa merencanakan masa depan bersama. Benar apa kata Bapak. Usia pernikahan kami sebentar lagi genap satu tahun. Sementara usiaku, tak lagi muda. Seharusnya, aku memang sudah mulai merencanakan hal besar. Salah satunya rencana memberi Bapak dan Ibu cucu.

"Sudah-sudah. Persoalan anak itu rahasia Tuhan. Ada yang dikasih cepet dan ada pula yang lama baru dikasih. Jadi, ya udah, jalanin aja semua sesuai ketentuan Tuhan. Gak perlu ngoyo, tapi juga jangan lupa usaha kalau memang mau dikasih," ujar Ibu panjang lebar. Aku dan bocil mendengarkan. Sesekali menyahuti dengan anggukan. Bapak hanya diam saja dan sesekali menyesap kopinya.

"Sebaiknya kita makan siang dulu. Nanti makanannya keburu dingin. Ayo!" ajak Ibu.

"Iya, bener. Cacing di perut Bapak juga sudah pada demo ini," sahut Bapak. Aku tersenyum. Lantas berdiri dan membereskan cangkir bekas minuman kami berempat. Membawanya ke wastafel. Lantas duduk di kursi ruang makan.

Sejak pembahasan soal anak tadi, bocil terlihat jadi agak pendiam sekarang. Apa dia nggak nyaman? Atau dia belum siap untuk segera punya anak?

*****

"Kata Ibu tadi ada pasar malam, kan, di lapangan deket pasar pagi?" Aku mengangguk membenarkan.

"Kita ke sana, yuk!" ajaknya.

"Ngapain?"

"Ya, jalan-jalanlah. Udah, ayo!" Dia menarik lengan ini. Aku pun berdiri dan mengekor. Dia menuntunku keluar dari kamar. Melewati ruang tengah, dimana Bapak dan Ibu sedang santai menonton televisi. Bocil pun pamit, lalu bertanya Bapak sama Ibu mau dibelikan apa.

"Gak usah repot-repot ...."

"Kalau ada martabak telor, boleh, deh." Bapak menyambar dan ucapan Ibu pun terjeda.

"Dia yang nawarin," ucap Bapak membela diri saat Ibu mendelik.

"Iya, gak apa-apa, kok, Bu. Nanti kalau ada, pasti aku beliin. Ya, sudah, kita berangkat dulu," pungkas si Bocil. Ibu mengiyakan. Bapak hanya menyahuti dengan gumaman, tangannya sibuk memencet remote memindah chanel televisi.

*****

"Kita naik itu, yuk!" ajaknya seusai memarkirkan motor. Aku menoleh ke arah yang ditunjuk. Aku tersenyum saat dia mengajakku naik bianglala.

Seketika ingatanku seolah terlontar ke masa lampau. Ya, dulu sebelum kami menikah, dia juga sudah pernah mengajakku ke pasar malam begini. Saat itu adalah pengalaman pertamaku menaiki bianglala. Setelah kita puas menaiki berbagai macam permainan dan makan, lalu aku yang dia suruh bayar semuanya. Sungguh ending yang membagongkan, bukan?

"Aku udah lama banget gak naik bianglala."

"Pasti terakhir kali, dulu itu, kan?" tebaknya.

"Itu bukan terakhir kali, tapi pertama kalinya," balasku. Dia menertawakan aku. Katanya aku terlalu kolot. Kalah sama anak kecil yang sudah berulangkali menaiki arena itu. Ya, aku akui itu memang benar.

"Jadi naik apa enggak?" sungutku.

"Ya jadilah!" Dia lantas menyelipkan jemarinya di sela jariku. Kami berjalan mendekati arena bianglala, lalu duduk bersisian di gondola. Bianglala mulai bergerak, aku mengeratkan genggaman.

Saat gondola perlahan bergerak naik, aku memejamkan mata. Bocil lalu memberikan aku arahan agar membuka mata perlahan. Sampai di atas, aku bisa melihat pemandangan kota di malam hari. Ada banyak lampu warna-warni menghiasi di seluruh penjuru kota.

"Cantik, kan?" Aku mengangguk dan menyandarkan kepala pada sisi bahunya. Tangan kami masih saling genggam. Suasananya sangat romantis.

Untuk mendapatkan suasana romantis, kita tak perlu jauh-jauh pergi ke luar negeri. Di tempat-tempat terdekat pun bisa, asal kita menikmati setiap detik waktu bersama orang terkasih. Bahkan, di pinggir sungai pun, akan terasa romantis dan bahagia jika kita pandai bersyukur. Intinya, di mana pun kita berada, asal bersama orang terkasih, pasti akan merasa bahagia.

"Kalau sama aku cantikan mana?" tanyaku berusaha menggodanya.

"Eum, cantikan mana, ya?" Dia seolah sedang berpikir. Dagu ini bertumpu pada pundaknya. Kupandangi wajah tampannya, dari jarak yang sangat dekat sambil menunggunya menjawab selorohku. Mendadak merasa gemas ingin mengecup pipinya. Aku sangat bersyukur memiliki kamu, Cil. Hadirmu, memberikan sejuta warna dan rasa dalam hidupku.

"Oke, karena sudah disogok pakai kecupan hangat, jadi ... cantikan istriku."

"Hmmm, jadi kalau tadi aku gak nyium, gak cantik, nih?" godaku pura-pura merajuk.

"Kamu itu lebih cantik dari malam-malam dengan seribu bintang di langit. Sesempurnanya purnama, di mataku kamu lebih sempurna."

Mendengar ucapannya, jantungku berpacu bak karapan. Rasanya, seperti orang sedang jatuh cinta. Ya, dia suamiku. Orang yang mampu membuatku jatuh cinta berulangkali padanya. Dia pria terhebat di mataku.

Kami hanyut terbawa perasaan. Sampai tanpa sadar, kini bibir kami saling bertemu. Gegas aku menjauhkan wajahku saat ingat ini sedang berada di gondola. Kami sama-sama salah tingkah. Aku tersipu, dia berdehem.

Aku menyandarkan kepala pada sisi bahunya lagi. "Kalau sama perempuan di luaran sana. Cantikan siapa?" Lagi, aku berniat menggodanya.

"Hmmm, di luar sana banyak sih, yang jauh lebih cantik ...."

Cepat, aku menjauhkan kepalaku dari pundaknya. Menatapnya jengkel, mendengkus sebal dan manyun. "Tuh, kaaan. Emang ya, semua laki-laki itu sama aja. Gak bisa liat yang bening-bening."

"Orang belum selesai ngomong udah dipotong aja," katanya, "Di luar sana memang banyak yang lebih cantik, tapi cuma kamu seorang yang berhasil mengisi ruang kosong hatiku. Dan cuma kamu yang berhasil membuatku cinta mati padamu."

"Masaaa?"

"Gak percaya? Kamu mau bukti apa? Kamu mau aku lompat sekarang?"

Cepat aku menggeleng dan memeluknya erat. "Gak mau. Aku maunya kamu selalu di sisiku, menemaniku hingga akhir hayat."

Dia membalas pelukanku, mengecup kening ini hangat. "Pastinya. Tanpa kamu minta, aku akan selalu di sampingmu. Mari menua bersama!" Aku mengangguk dalam dekapannya.

"Ini mau turun apa lanjut ke putaran kesebelas?" kata petugas operator bianglala ini.

"Hah?! Putaran kesebelas?" seru kami berdua kompak. Saking asyiknya sampai tidak sadar sudah sampai sepuluh putaran saja.

"Satu putaran berapa, ya, Pak?" tanya bocil sambil cengar-cengir.

"Dua puluh ribu," jawab pria di hadapan.

"Bayarnya gimana?" bisikku.

"Mimulah yang bayar."

Tuh, kan, apa aku bilang juga. Pasti endingnya begini, kan? Ck!

"Eh, tapi satu putaran lagi deh, Pak," katanya. Aku terperangah.

"Kita kan, belum selfi. Kita naik satu kali lagi, terus nanti pas sampai atas kita selfi buat diposting di Instagaram," lanjutnya sambil menarik lengan ini guna duduk lagi di dalam gondola. Aku cuma bisa tepuk jidat. Wasalam deh, lembaran merah di dompet!







SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang