Ter-la-lu!

560 48 3
                                    


Waktu seolah berhenti berputar, nafas dan jantung juga serasa berhenti seketika. Air mata mulai menetes lagi bulir demi bulirnya. Aku bangkit, ingin rasanya menguap saja dari permukaan bumi ini.

Tidak! Aku tidak akan sanggup jika sampai bocil amnesia. Aku tak rela kalau sampai dia lupa akan siapa diriku. Tidak! Ini tak boleh terjadi!

"Kamu jangan bercanda dong, Cil! Ini aku, istrimu! Safa, kamu ... kamu udah pernah bikin kesepakatan untuk manggil aku, Mimu. Dan aku manggil kamu Miku. Inget, kan?"

"Kamu suamiku, aku istrimu. Kamu inget kan, sama semua yang udah kita lewatin bareng-bareng selama beberapa bulan ini? Inget, kan?"

Dia bergeming. Tampak seperti sedang mengingat. Kemudian merintih kesakitan sambil memegangi kepala. Aku panik. Cepat aku berlari keluar dan memanggil dokter.

"Dok, lihat dia sudah sadar, tapi dia tidak ingat siapa saya, Dok!" kataku panik sambil berjalan mengekori dokter ke sebelah ranjang si Bocil.

Aku terdiam saat mendapati suamiku masih terbaring dan matanya terpejam. Sebentar, apa tadi itu cuma halusinasiku saja? Tapi, masa sih? Kepalaku mendadak pening.

Dokter berusaha menepuk-nepuk bahu lelakiku itu, dia bergeming tak menyahut. Apa benar tadi itu aku cuma halusinasi saja? Karena saking takutnya dia kenapa-kenapa?

"Sepertinya dia masih belum sadarkan diri, Bu. Mungkin tadi Ibu cuma terlalu kepikiran saja akan kondisi suami, makanya ...."

"Enggak, Dok! Saya yakin betul tadi dia sudah sadar."

"Tapi, buktinya Ibu lihat sendiri, kan? Suami Ibu masih belum merespons panggilan saya." Dokter lanjut memeriksa detak jantungnya, dan yang lainnya.

"Kondisinya sudah membaik. Detak jantungnya juga sudah mulai stabil. Tinggal nafasnya saja yang masih agak berat. Pasti ini efek tulang dadanya yang memar itu," terang dokter. Sejurus kemudian dia dan suster pamit kembali ke ruangannya.

Aku menunduk sedih dan takut banget. Ada banyak ketakutan yang mendadak timbul. Tangisku pecah lagi. Kudengar dia terkekeh. Aku menatapnya tak percaya. Dahi ini mengernyit dibuatnya.

"Utu-utu udah dong nangisnya. Istriku terlove, Mimu cayong. Sebegitu takutnya ya, kehilangan suamimu yang ganteng maksimal ini? Hmmm?" Dia dengan santainya lanjut mengedikkan alis.

"Kamu ... ngerjain aku dan juga dokter? Iya?!" cecarku geram. Dia terkekeh, dan lanjut memegangi dadanya. Sesak mungkin.

"Kamu pikir ini lucu? Iya? Hah?!" Kujewer telinganya, tak peduli meski dia mengaduh dan meminta ampun.

"Kamu tahu gak, sih? Apa yang kamu lakukan barusan itu keterlaluan banget. Gak lucu!" omelku. Dia mengacungkan jarinya membentuk huruf V. Aku menggeleng kecewa.

"Gak ada peace! Aku gak akan maafin kamu atas apa yang udah kamu lakuin ini, Cil!" sewotku lantas meninggalkannya sendirian di dalam kamar. Aku tak peduli meski dia merengek minta maaf dan memintaku untuk tetap tinggal.

"Aaaakh!" jeritnya. Aku pun kembali masuk dan mendekatinya.

"Apa? Kenapa? Apanya yang sakit?" Aku panik lagi, dan merasa bersalah lagi. Seharusnya aku bisa lebih sabar dalam menghadapinya di situasi yang seperti ini.

"Semuanya sakit," rengeknya manja.

"Ya udah, aku panggilin dokter, ya! Awas, kalau ngerjain lagi, aku tinggal beneran!" ancamku. Dia terkekeh lemah.

"Gak usah panggil dokter! Dicium juga pasti langsung baikan." Dia lanjut mengedipkan sebelah matanya.

"Gak usah lebay! Gak usah aneh-aneh!" sentakku. Dia nyengir menampakkan deretan giginya. Air mataku terus mengalir tak mau berhenti. Perasaanku campur aduk. Antara senang dan juga sedih serta kesal.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang