Tamu Tak Diundang

330 35 4
                                    

Perlahan air mataku mulai menetes membasahi pipi. Bocil mengulum bibir menahan tawa. Detik kemudian, tawanya meledak.

"Aku cuma bercanda. Jangan nangis, dong. Cup, cup," katanya sambil mengusap pipi yang basah oleh air mata.

Aku tepis tangannya. "Kamu pikir, bercandaanmu barusan itu lucu?"

"Eum," gumamnya, lanjut nyengir dan menggaruk tengkuk.

"Gak lucu sama sekali!" Aku mendelik ke arahnya. Sebal. Bagi dia mungkin itu hanya guyonan, tapi bagiku itu sangat menyakitkan hati.

"Aku minta maaf," pintanya memohon. Aku langsung tidur memunggunginya. Aku abaikan saat dia terus berusaha merayu.

****

Saat aku membuka mata, suamiku sudah tak ada di tempatnya. Sudah bangun terlebih dahulu sepertinya. Aku duduk bersandar pada kepala ranjang. Membersihkan sudut mata dan merapikan rambut. Rasanya begitu berat hendak berpisah dengan kasur dan bantal juga selimut. Malas sekali mau beranjak ke kamar mandi guna mandi.

Akhirnya berhasil juga melawan rasa malas. Usai mandi dan ganti baju, aku keluar kamar. Pandanga mataku memonitor ruang tengah, sepi. Begitu juga ruan tamu dan teras. Aku melangkahkan kaki ke dapur. Ibu masih berkutat di depan kompor.

"Selamat pagi, Bu," sapaku sambil memangkas jarak.

"Pagi." Ibu membalas tanpa menoleh. Fokus pada sesuatu yang sedang digoreng.

"Masak apa, Bu?" Aku ambil posisi berdiri di sebelah Ibu. Rupanya Ibu sedang menggoreng perkedel kentang. Itu salah satu makanan kesukaan si Bocil.

"Buat siapa?" Aku pura-pura bertanya.

"Buat Dafa."

Tuh, kan, bener.

"Kenapa repot-repot, Bu? Harusnya Ibu tuh, gak usah repot-repot begini."

"Kenapa emangnya? Ibu gak merasa repot, kok. Ibu juga udah masak kesukaanmu tuh. Sambel pecel."

"Apa yang belum, Bu? Biar aku kerjakan."

"Tinggal goreng kerupuk aja, sih. Nanti, selesai goreng perkedel ini."  Aku mengangguk, lalu menunggu Ibu selesai menggoreng perkedel. Sebenarnya ingin bertanya ke mana perginya si Bocil, tapi gengsi. Lagian, aku masih kesal dengannya. Tapi, penasaran. Gimana kalau ternyata dia pergi menemui perempuan lain?

"Eum, Bu ...."

"Kenapa?" tanya Ibu saat aku tak kunjung menyelesaikan ucapan.

"Da ...."

"Ciyeee, kangen, ya?"

Aku menoleh ke pemilik suara, urung melanjutkan kalimat. Si Bocil berdiri di pintu penghubung antara dapur ini dan ruang makan. Bersandar pada kusen dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Dih! Geer!"

"La itu tadi, pasti mau nanyain aku di mana, kaaan?" katanya sambil melangkah mendekat.

"Dih, siapa yang mau nanyain situ?! Geer! Aku mau nanya ke Ibu, dah belom goreng perkedelnya!" dalihku. Padahal, tadi memang benar, ingin menanyakan ke Ibu soal keberadaannya.

"Heleh, ngeleees," katanya sambil menyikut lengan ini.

"Bisa diem, gak?!" bentakku.

"Gak bisa. Aku gak bisa diem aja, semetara istriku ini menandang rindu," katanya sambil menjawil dagu ini, "Izinkan aku mengobatimu, istriku!"

"Apa sih, gaje banget! Pergi, gak? Jauh-jauh! Aku mau goreng kerupuk!" sewotku. Ibu menggeleg, lalu menghela napas panjang. Kemudian berlalu menaruh perkedel ke meja makan.

"Ya udah, biar aku bantu goreng kerupuknya."

"Gak perlu!" sewotku. Dia langsung mengambil alih semua peralatan menggoreng. Juga mengambil alih posisiku, lantas mulai menggoreng kerupuknya. Aku memilih pergi meninggalkannya ke teras. Kuabaikan teriakannya yang memintaku untuk tetap tinggal.

Dua puluh menit berlalu, dia menyusul ke teras. Langsung duduk di sebelah. Mulutnya mengunyah kerupuk, di tangannya masih ada stok.

"Kenapa, sih? Masih marah soal semalem?" tanyanya. Aku memilih diam saja.

"Aku minta maaf. Lagian itu cuma bercanda. Aku gak akan nikah lagi." Dia lanjut mengacungkan jarinya membentuk huruf V, "Suwer!"

"Tapi, misal aku beneran gak bisa hamil, gimana?"

Dia menarik kursinya mendekat. Kini posisi kami tanpa sekat. Dia lantas meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Tatapan mata kami bertemu.

"Dengar! Aku menikahimu karena ingin hidup bersamamu. Bukan ingin menjadikanmu mesin pencetak anak. Soal anak, dikasih, ya, syukur. Gak dikasih, ya, gak masalah. Karena bagiku, bersamamu sampai akhir hayat, itu sudah lebih dari cukup."

Pipi ini rasanya menghangat mendengarnya berbicara begitu. Seperti ada yang memalang di tenggorokan ini. Aku terharu. Soal umur, aku akui dia memang masih terbilang bau kencur. Namun, soal pemikiran dia sudah dewasa. Ya, walaupun terkadang masih kekanakan, sih. Tapi, di saat tertentu dia bisa diajak bicara serius.

"Tapi, kan, kata orang pernikahan itu gak lengkap tanpa hadirnya anak," lirihku.

"Kata siapa? Pernikahan itu ... di saat dua insan beda jenis kelamin bersama mengikat janji suci, ya, sudah lengkap. Soal anak itu bonus dari Tuhan. Dikasih, syukuri. Kalau gak dikasih, ya, tetap jalani dengan ikhlas."

Tanganku masih digenggamnya. Ditariknya lembut dan ditempelkan ke dadanya. Daguku ditarik lembut saat aku menunduk dalam. Kini mata kami bertemu lagi.

"Satu hal yang harus kamu tahu. Bagiku, memilikimu dan bisa hidup denganmu, itu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Ada kamu di sisiku, aku tak butuh yang lainnya lagi." Dikecupnya punggung tanganku lembut.

"Kalau misal suatu hari nanti kita dikarunia anak. Lalu, aku disuruh milih antara kamu atau anak kita, aku akan tetap milih kamu. Bukannya aku gak sayang sama anak kita." Dia lanjut mengecup punggung tanganku lagi. Aku terdiam menahan sesak. Kaca-kaca mulai menggenangi pelupuk mata ini.

"Kalau semisal kehilangan anak, kita masih bisa berusaha lagi. Entah dengan cara program hamil atau adopsi. Tapi, kalau sampai aku kehilangan kamu, aku gak yakin bisa menemukan orang sepertimu lagi. Kalau sampai saat itu terjadi, pasti aku hancur banget. Aku gak mau hidup lagi," lanjutnya panjang lebar. Akhirnya air mataku lolos begitu saja. Pertahananku jebol juga. Dia mengusap air mata yang menganak sungai di pipi.

"Kamu abis diapain sama si Orok ini?"

Mataku membulat, menatap sesosok pria yang baru saja datang dengan tatapan tak percaya. Pun dengan si Bocil. Dia menatap pria yang baru saja datang dengan tatapan kesal. Bocil lantas bangkit dan mencengkeram kerah baju tamu tak diundang itu.

"Elu ngapain ke sini?!" tanya si Bocil kesal.






SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang