Serangan Brutal

355 28 5
                                    


Kudengar suara sepatu para pria itu menjauh meninggalkan tempat ini. Sedang si Bocil mengerang kesakitan. Aku tak bisa melihat apanya yang tertembak. Kepalaku masih tertutup, dan aku masih sibuk berusaha membuka ikatan di tangan sambil berderai air mata. Aku hanya bisa menjerit dalam hati.

"Aaargh!" Kudengar si Bocil mengerang panjang. Detik kemudian terdengar langkah kaki terpincang-pincang mendekat. Dia masih bisa jalan kemari? Ah, syukurlah. Kurasakan dia membuka ikatan di tangan. Setelah tali terlepas, aku bergegas membuka penutuk kepala, kemudian membuang lakban yang merekat di mulut. Bocil terduduk sambil memegangi kakinya yang bersimbah darah. Aku membungkam mulut. Syok. Ternyata kakinya yang ditembak tadi.

"Sekarang gimana? Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku panik.  Lantas berjongkok di sebelah suamiku yang malah bengong menatapku tanpa berkedip.

"Heeeh! Mau ngapain?" serunya saat aku bersiap membuka baju, "Aku tahu Mimu kangen banget sama aku, tapi please, jangan di sini dan jangan sekarang juga. Lihat dong, kakiku tertembak," lanjutnya.

Aku mendelik, dia nyengir. "Lagi situasi kek gini juga. Sempat-sempatnya!" omelku, "Aku mau pake bujuku buat bungkus lukamu," imbuhku.

"Jangan bajumu. Bajuku aja," katanya.

"Kenapa? Aku pake kaus singlet, kok."

"Iya tahu, tapi pake bajuku aja," paksanya. Kemudian melepas bajunya dan digunakan untuk mengikat lukanya supaya pendarahannya sedikit tertahan.

"Mana HP kamu?" pintaku menengadah. Dia menggeleng. Dahiku mengernyit.

"Gak ada."

"Gak ada gimana? Bukannya kamu tadi abis video call sama para pria tadi?" cecarku.

"Tadi setelah kakiku ditembak, salah seorang pria merampas HP-ku dan dibawa pergi. Aku yakin itu HP dibuang supaya kita gak bisa nelpon minta bantuan."

"Terus gimana dong, sekarang?" tanyaku.

"Kita jalan keluar bangunan ini," katanya. Mataku pun memonitor ke sekeliling dan ternyata penampakan tempat ini sangat menyeramkan. Aku merangsek mendekat dan bergelayut di lengan si Bocil.

"Tempatnya serem, Cil," rengekku.

"Hilih, modus. Bilang aja kangen, pake alasan tempatnya serem segala," cibirnya.

Kutepuk bahunya pelan. "Serius. Serem tauk. Tempat apa sih, ini?"

"Bekas pabrik tebu. Dibangun pada era penjajahan Belanda," terangnya.

"Takuuut," rengekku. Semakin mengeratkan genggaman.

"Kalau takut cium," katanya sambil memonyongkan bibir.

"Apa korelasinya takut sama cium?" tanyaku agak ngegas.

"Kalau abis dicium pasti takutnya ilang dan ... sakit di kakiku juga pasti reda."

"Nanti ciumnya kalau udah sembuh kakinya."

"Kelamaan," rengeknya manja.

"Ck, udah deh, mending sekarang aku bantu berdiri. Terus aku papah keluar cari bantuan." Aku tersentak saat dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, aku tak punya kesempatan untuk protes. Bibirku dikuasainya.

"Aku kangen," lirihnya setelah penyatuan bibir kami terlepas. Jarak wajah kami sangat dekat. Aku bisa merasakan embus napasnya yang hangat menerpa area wajah. Tangannya membelai pipi ini.

"Aku juga," kataku.

"Juga apa?"

"Kangen," jawabku tersipu.

"Kamu nggak diapa-apain kan, selama disekap sama penjahat itu?" cecarnya kemudian.

"Enggak, kok. Aman." Dia menghela napas lega. Aku menunda bertanya tentang siapa mereka. Aku utamakan memapah dia keluar dan mencari bantuan.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang