Senin Nyesek

766 53 6
                                    

"Oya, gimana tadi gado-gadonya, enak apa enggak, Mbak?" tanyanya saat kami sudah di rumah dan sedang santai menonton televisi.

"Enak, kok."

"Habis, enggak?"

"Eum ...." Duh, cerita gak ya, kalau tadi gado-gadonya sebenernya baru aku makan seperempat porsi. Terus ditumpahin sama Eza.

Tadi pas aku makan tiba-tiba Eza datang membawa setumpuk berkas dan menaruhnya di meja kerjaku. Lantas entah sengaja atau tidak, dia menyenggol piring gado-gadoku yang aku letakkan di sudut meja. Tumpah deh, berserakan di lantai. Kalau tebakanku sih, Eza sengaja melakukan itu karena dia tahu makanan itu dari kamu, Cil.

Aku terkesiap oleh jentikan jarinya di depan wajah ini. "Yeee, ditanya malah bengong. Kenapa?"

"Eum, habis kok. Enak banget. Sayurannya masih fresh, terus warnanya ijo, seger, bumbunya juga pedes sama manisnya, pas!"  Aku terpaksa bohong, karena gak mau kamu kesal, Cil.

"Syukur deh, kalau Mbak suka. Itu gado-gado emang juara, sih. Gak setiap hari jualan. Hanya pas hari Jumat aja jualannya."

Mendadak teringat soal besok pagi yang diminta nemenin Eza keluar kota. Bingung gimana cara izinnya sama si Bocil. Biar gimana pun, dia suamiku, 'kan?  Dilema. Gimana ya, kalau aku izin gak ngantor, tapi alasannya apa? Sakit? Gimana kalau sakit beneran? Ck! Males banget kalau harus barengan sama mantan ke luar kota.

"Hei, Mbak!"

"Eh, iya, kenapa?" Duh, jadi gagal fokus gini sih, gara-gara mantan.

"Mbak kenapa, sih? Sakit?" Aku menggeleng.

"Capek? Ya udah, istirahat aja kalau capek!"

"Hah?! Enggak capek, kok!"

"Gimana sih, Mbak, tadi ditanya 'capek' ngangguk. Sekarang bilangnya gak capek. Jadi yang bener yang mana?"

"Enggak capek, kok. Kan, mau nunggu ...."

Dia menjentikan jarinya ke hadapan muka. "Oooh, Mbak nungguin sambungan adegan pelukan di depan kantor Mbak, siang tadi? Iya?" selanya.

Kuusap wajahnya, kesal! Dia malah terbahak. "Iya, aku inget kok, Mbak. Oke, aku bakal jelasin semuanya soal siapa wanita tadi."

"Bagus deh, kalau gak amnesia. Ya udah, buruan jelasin!"

"Oke, jadi si Tere itu ...."

Kutabok bahunya, dia mengaduh kesakitan. "Kok jadi bahas Pare, lagi, sih?!"

Dia terbahak lagi. Nyebelin! Tapi, seneng sih, lihat dia tertawa lepas begini. Daripada murung kayak waktu itu, 'kan?

"Sebenernya males banget sih, bahas soal ini," lirihnya. Kemudian menghela napas panjang.

"Wanita ... yang datang ke sini pagi tadi, dia ... perempuan yang udah ngelahirin aku 19 tahun lalu, Mbak." Ekspresi wajah si Bocil berubah sendu. Tawa yang tadi lepas seketika sirna.

"Hah? Seriusan? Kamu yakin?"

Dia mengangguk. "Sudah konfirmasi sama Bu Nurmala. Ibu Panti membenarkan jika wanita itu adalah ibuku."

"Ya, terus kenapa kamu malah sedih begini? Harusnya seneng dong, setelah sekian lamanya akhirnya bisa bertemu lagi sama ibumu."

"Masalahnya ... hatiku sudah terlanjur sakit, Mbak. Setelah mendengar alasan kenapa dulu ibuku menitipkan aku di Panti Asuhan."

Aura wajahnya semakin mendung. Aku jadi ragu untuk mengorek lebih dalam. Memilih diam membiarkannya bercerita dengan sendirinya.

"Di saat sebagian orang tua rela mengorbankan seluruh hartanya untuk anaknya. Di saat kebanyakan orang tua menganggap anak adalah harta paling berharga. Tapi, ibuku malah rela menitipkan aku ke Panti demi mengejar harta."

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang