Sampai di rumah sudah menjelang magrib. Aku langsung mandi, dan bersantai di depan televisi. Sambil minum kopi dan ngemil keripik kemasan bermerk yang tadi aku beli di mini market sepulang dari Danau Banyu Biru.
Drama Koreanya bikin baper, sad ending. Membuatku terisak karena saking bapernya. Di mana tokoh utamanya akhirnya memilih saling melepaskan dan merelakan. Padahal saling mencintai. Tapi, mereka rela mengorbankan perasaan mereka demi keluarga.
"Loh, kenapa nangis lagi, Mbak?" Usai mandi, bocil menyusul duduk di sebelahku.
Gegas kuusap air mata dengan tisu di meja, lantas menggeleng. "Enggak papa. Baper aja sama drakornya."
Dia terbahak meledek. "Dasar cewek ya, baper sama drakor sampek segitunya. Heran aku tuh, sumpah!" Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu menyeruput kopi yang tadi kubuatkan untuknya. Kemudian memakan sisa keripikku.
"Itu yang belum dibuka kan, ada. Kenapa malah makan sisaku?"
"Sisanya orang cantik itu nikmat, Mbak." Dia bersemangat sekali mengunyah.
"Mbak!"
"Apa?"
Dia merubah posisinya menjadi miring menghadapku. Aku antusias menunggunya berbicara. Kalau dilihat dari ekspresinya terlihat bakal bicara soal serius.
"Nih, ya, dengerin baik-baik!" titahnya.
"Sssth!" desisnya, aku pun urung bicara. Ditariknya kedua sisi bahuku agar menghadapnya. Lalu setelah kami duduk berhadapan di sofa, kedua tanganku digenggamnya. Mata kami saling bertemu. Jantungku bertalu.
Dia menghela napas panjang, ambil ancang-ancang mau bicara. Dia kenapa, sih? Mau nembak? Masa, sih?
"Mbak, kalau aku jadi air mata, aku rela lahir dari matamu, hidup di pipimu, lalu mati di bibir seksimu itu."
Aku bergeming, menatapnya. Menikmati gelenyar hangat yang menjalari tubuh.
"Tapi ... kalau kamu jadi air mata, aku gak akan nangis ...." Dia menghentikan ucapannya, menatapku sedemikian rupa.
"Kenapa begitu?" tanyaku saat dia tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
"Sebab aku gak mau kehilanganmu, Mbak."
Deg!
Gegas kutarik tanganku yang digenggamnya. Kembali ke posisi semula. "Kirain mau ngomong apa? Gak taunya gitu doang!" ketusku.
"Tapi suka, kaaan?" Dia mendekatan wajahnya ke sisiku, menaik-turunkan alisnya.
"B aja!"
"Masaaa?" Disandarkan kepalanya ke bahuku. Aku mengulum bibir manahan senyum.
"Lama-lama aku bisa-bisa over load, Cil, kalau kamu gembelin terus!" ketusku. Bersedekap pasang wajah kesal.
"Over dosis, ov-er do-sis, o-v-e-r d-o-s-i-s," bisiknya penuh penegasan. Aku memiringkan kepalaku, dia berbisiknya dekat sekali dengan telingaku. Embus napasnya membuatku terkikik dan bergidik geli.
"Satu lagi, gombalin, bukan gembelin!" imbuhya, kami lanjut terbahak bersama.
"Lama-lama ngeri aku, Mbak, kalau kamu jadi somplak begini."
"Kan, kamu yang ngajarin. Perempuan itu tergantung bagaimana lelakinya," balasku. Lanjut mencebik ke arahnya. Dia manggut-manggut.
Tanpa aba-aba kami kompak meraih cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Lalu saling lirik.
"Jiaaaah, fiks, kita ini memang jodoh, ya, Mbak, ternyata."
Aku memutar bola mata, menyeruput kopi, dan kembali menaruh cangkir ke atas meja. Kami terdiam serius mantengin berita di televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH
RomanceAWAS BAPER KUADRAT!!! Sama keuwuan bocil Dafa 19 tahun with istrinya, Mbak Safa 29 tahun. Ya, sejauh itu selisih umur suami istri ini.😉