Kabar yang tak di harapkan

2.8K 156 2
                                    

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, begitupun dengan tahun. Tanpa terasa usia pernikahan Fahmi dan Syakia sudah menginjak dua tahun. Sekarang mereka juga sudah tidak satu rumah dengan Sufyan dan Sadiah. Fahmi dan Syakia sudah tinggal di rumah mereka sendiri, ya meskipun jarak rumahnya juga tidak jauh karena Fahmi juga harus mengajar para santri di pesantren abinya begitupun dengan Syakia.

Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Syakia selain bersama-sama dengan suaminya, suami yang teramat dia cintai, suami yang selalu sabar menghadapi sikap manjanya, serta tak pernah mengeluh karena mereka tak kunjung di beri karunia.

Selama dua tahun Syakia menikah dengan Fahmi tak pernah laki-laki itu berkata kasar atau membentaknya. Dia selalu bersikap lembut dan sangat menyayanginya. Fahmi juga tak pernah berkomentar meski masakan Syakia tidak enak. Masih ingat kan kalau Syakia tidak pandai memasak? tapi Fahmi selalu memakannya tanpa berkomentar apa pun.

Hingga hari itu pun datang, hari dimana seperti ada puluhan petir yang menyambar Syakia yang menguncangkan tubuhnya dan menggoyahkan hatinya. Kepercayaan yang dia bangun selama bertahun-tahun seketika terasa jatuh ke tempatnya berpijak saat ini. Syakia seperti kehilangan pendengarannya untuk sesaat, bibirnya kelu tak mampu mengucapkan kata-kata, sekuat tenaga menahan agar air matanya tak tumpah. Sungguh. Ia tidak ingin menangis. Tolong.

Ketika itu Syakia tengah menata bunga di vas yang terletak di kamarnya, Syakia memang menyukai tumbuhan yang di sukai sebagian besar kaum wanita itu.

Fahmi berjalan menghampiri istrinya yang tengah sibuk dengan vas bunganya, sungguh kakinya terasa berkali-kali lipat lebih berat, napasnya sesak, apalagi ketika melihat senyum berseri di wajah istrinya ketika berbalik dan menatapnya hatinya semakin sesak, dirinya sangat mencintai wanita di hadapannya ini, sungguh.

Fahmi menarik tangan Syakia lembut "Duduk yuk, aku ingin bicara" Fahmi membawa istrinya ke ranjang mereka dan duduk di tepian ranjang itu.

Fahmi mengelus pipi Syakia dengan lembut tanpa melepas senyumnya dan Syakia juga membalas dengan senyum hangat. Fahmi memilih-milih kata-kata yang tepat untuk mengutarakan hal itu pada istrinya itu bahkan pikirannya tak bisa fokus saat ini. Ia takut, sangat takut menyakiti wanita yang dicintainya, dan takut justru dia akan pergi meninggalkannya.

"Kia, aku ingin bertanya?" Ucap Fahmi lembut. Syakia mengangguk senyum.

"Jika aku mengkhianatimu, mencintai perempuan lain apa kamu akan marah?"

Syakia bingung, mengapa Fahmi tiba-tiba berkata seperti itu, namun Syakia tetap menjawab meski merasa aneh dengan pertanyaan suaminya itu.

"Tentu, aku akan cemburu" Syakia tersenyum menjeda perkataannya "Namun aku tidak khawatir, itu tidak akan pernah terjadi karena kamu sangat mencintaiku" Syakia menggenggam tangan suaminya dengan tersenyum yakin.

"Mengapa kamu begitu yakin?"

"Ketika kamu meletakan tanganmu di atas ubun-ubunku dan memanjatkan doa saat pernikahan kita, aku sudah yakin bahwa kamu mencintaiku dan hanya mencintaiku" Ucap Syakia tanpa melepas senyum di wajahnya.

Fahmi menatap Syakia sendu "Namun laki-laki di hadapan kamu ini baru saja akan mengkhianatimu, Syakia" Fahmi meneteskan air matanya.

Syakia mengerutkan kening hingga kedua alisya hampir menyatu "Maksudmu apa suamiku" Syakia meraih pipi Fahmi tak mengerti

"Aku–aku saat ingin meminta ijinmu untuk menikah dengan perempuan lain" Fahmi menundukan kepalanya ucapannya tersedat-sedat.

Tangan Syakia perlahan turun dari pipi suaminya dengan bergetar, tatapannya kosong, senyum di wajahnya perlahan pudar tergantikan sendu, ia tak tahu harus bereaksi apa terhadap apa yang di ucapkan suaminya barusan, bahkan saat ini bibirnya kelu untuk sekedar berucap satu kata saja.

Fahmi melihat, dia melihat perubahan ekspresi wajah Syakia senyum hangat yang sedari tadi menghiasi wajah cantiknya kini telah hilang seperti Fahmi tak akan melihat senyum itu lagi bahkan perlahan bulir air bening dari kelopak mata indahnya mulai jatuh. Apa ini, Fahmi telah mengingkari janji pada ayah istrinya untuk tidak membuat putrinya menangis. Bahkan untuk sekedar mengucap maaf saja bagitu susah saat ini.

"Mengapa a, apa aku sudah tidak mampu melayanimu?" Syakia mengatakan dengan ekspresi datar dan tatapan yang masih kosong.

Fahmi menggeleng

"Apa aku membuat kesalahan yang tak termaafkan?" Tanyanya lagi.

Fahmi menggeleng menangis

"Lalu apa? A Fahmi sudah tidak mencintaiku lagi?" Tanyanya masih dengan tatapan kosong.

Fahmi tetap menggeleng

"Lantas mengapa engkau mencari bunga yang baru?"

Fahmi tidak tahu harus bicara apa, tiga pertanyaan Syakia seolah menampar dirinya, Fahmi akan merasa lebih baik jika wanita ini marah atau mengamuk bukan hanya datar dengan tatapan kosong seperti itu, sungguh itu lebih perih.

"Ada satu perempuan yang selalu di siksa suaminya baik fisik maupun batinnya, semua harta peninggalan ayahnya sudah habis oleh suaminya itu, hingga dia tak mampu untuk membawa ibunya yang sakit parah untuk berobat, bahkan setelah kesusahannya itu suaminya menceraikan dan meninggalkannya yang tersisa hanya rumah usang tempat mereka berteduh" Fahmi menjelaskan selembut mungkin.

"Abi dan umi mengenal baik orangtua perempuan itu, dan kemarin ibunya wafat, dan dia menitipkan putrinya itu pada abi dan menginginkan salah satu anak abi menikahi putrinya" Lanjut Fahmi.

Tatapan Syakia yang tadinya kosong kini berubah jadi sendu, jujur Syakia juga sedih mendengar cerita dari suaminya.

"Abi sudah mengatakan ini pada kak Imran, dia tidak menolak, namun kak ulfa tengah mengandung dan takut kak Ulfa terguncang dan berakibat pada kandungannya" Lirih Fahmi.

Syakia terdiam sebentar di satu sisi hatinya mengatakan ingin menolong perempuan itu dan ia yakin suaminya juga begitu, tapi di sisi lain Syakia juga tak ingin membagi cintanya. Namun rasa prihatin dan rasa sayang pada sesama perempuan lebih besar, jadi mungkin ini lebih baik.

Syakia mengalihkan pandangannya pada Fahmi dengan tatapan sendu "Itu wasiat, suamiku, aku mengijinkannya" Ucap Syakia dengan senyum namun juga dengan air mata yang terus menetes "Aku yakin baik abi ataupun kamu hanya ingin menolongnya dan kalian tentu lebih tau mana yang terbaik di banding aku" Ucap Syakia memegang pipi Fahmi.

"Sudah masuk waktu aku mengajar para santri, aku ijin pergi ke sana ya, mereka pasti sudah menunggu" Ucap Syakia lagi melepas tangan dari pipinya Fahmi kemudian berlalu meninggalkan Fahmi untuk menemui murid-murid nya. Lebih tepatnya untuk mengalihkan rasa sakitnya. Syakia tidak tahu apakah ini pilihan terbaik atau tidak.

Seketika Fahmi menangis, Fahmi tak menyangka Syakia akan mengatakan itu. Dia tidak marah, dia juga tidak mengamuk. Dia hanya bertanya dan berakhir dengan ijinnya, dan itu sungguh menyakitkan. "Maaf Syakia, aku telah menciptakan luka di hati yang begitu baik, aku mencintaimu"

Di antara Dua Hati (Sudah Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang