Kebahagian Keluarga dan Kesedihan Syakia

2.6K 138 4
                                    

Hari itu Fahmi memang benar dengan perkataannya, dia datang lagi menjemput Syakia di rumah orangtuanya. Hal itu juga salah satu yang membuat Syakia tidak lagi marah pada Fahmi. Karena melihat suaminya rela bolak balik dalam perjalanan yang jauh.

Namun tidak sampai di situ, badai kesedihan Syakia rupanya belum usai. Sejujurnya dia juga tidak tau bagaimana dia harus mendefinisikan perasaannya sekarang. Dia bahagia, tapi dia juga sedih. Dia senang, tapi dia juga sakit.

Beberapa hari setelah pulang dari rumah orangtua Syakia. Semua keluarga Fahmi diliputi rasa bahagia yang teramat sangat yang dipenuhi rasa syukur. Sebuah kabar yang mereka tunggu, sebuah harapan yang mereka nantikan, kini akhirnya terwujud. Fahmi baru pulang dari klinik karena tadi dia harus membawa istrinya ke sana karena istrinya itu mengeluh pusing hingga hampir tak sadarkan diri, dan saat sampai rumah terlihat wajah berbinar dari keduanya. Syakia yang juga ada di sana, karena tadi setelah pulang mengajar dia mampir terlebih dahulu saat mendengar Anisa mengeluh  pusing dan di bawa ke klinik, dia juga yang mengasuh Ilham selama Anisa dan Fahmi pergi.

Fahmi buru-buru berjalan masuk rumah untuk menemui uminya melewati Syakia begitu saja. Tapi Syakia tak menggubris, dia mengikuti langkah Fahmi dan Anisa ke dalam. Sementara Ilham tadi sudah di ambil oleh Anisa dari gendongannya.

"Umi" Panggil Fahmi semangat

"Sudah pulang a, gimana Anisa tidak papa kan?" Tanya Sadiah masih khawatir.

"Umi, dokter bilang....Anisa tengah mengandung, Ami akan jadi ayah mi" Ucap Fahmi tersenyum penuh bahagia.

"Mashaallah, alhamdulillah" Ucap Sadiah terlihat senang juga.

Sedangkan Syakia, dia mematung tidak tau ekspresi apa yang harus dia tunjukan. Jika di bilang senang itu pasti karena melihat Fahmi se-bahagia itu bagaimana mungkin Syakia tidak senang. Tapi, Syakia juga merasakan perasaan lain pada sisi hatinya yang lain. Di satu sisi dia sangat sedih melihat Anisa bisa memberi kebahagian untuk Fahmi dan keluarganya, sementara dirinya tidak. Fahmi sudah menantikan hal ini dari Syakia sejak dulu namun tak kunjung juga, dan sekarang Fahmi mendapatkannya dari Anisa.

"Sudah berapa usia kandungannya?" Tanya Sadiah.

"Kata dokter, baru 3 minggu umi" Jawab Anisa kali ini.

Fahmi kemudian berjalan ke arah Syakia, lalu memeluknya "Aku bahagia, Syakia" Ucapnya dalam pelukan istrinya itu, tanpa sadar bahwa saat ini istri pertamanya itu tengah terluka.

"Aku juga bahagia" Ucap Syakia juga setelah pelukan keduanya terlepas. Matanya berkaca-kaca, entah karena haru atau karena sedih.

****

Setelah mendengar kabar bahagia itu Fahmi menjadi semakin perhatian pada Anisa, hah tentu saja. Itu adalah calon anak pertama Fahmi, pasti dia akan memberi perhatian lebih pada Anisa, karena memang itu yang dibutuhakan seorang istri dalam kondisi seperti ini.

Syakia termenung duduk di kursi dekat jendela, menatap jauh ke luar sana sembari mengusap-ngusap perutnya dia membayangkan seandainya yang kini tengah mengandung itu adalah dirinya pasti itu akan menjadi hal bahagia yang tak ternilai. Tapi harapan hanyalah harapan, Syakia tidak dapat berbuat apa-apa selain doa yang terus mengiringi.

Syakia Pov

Dulu aku merasa menjadi wanita paling bahagia, bertahun-tahun aku menyembunyikan perasaan suka dan cintaku kepada seorang laki-laki tanpa siapa pun yang tahu selain aku dan tuhanku.

Setiap malam aku panjatkan mengucap satu nama. Hingga tanpa ku duga dan tak pernah terfikir bahwa dia akan datang ke rumahku menemui ayahku untuk melamarku. Hari itu jiwaku bergemuruh seperti ada ribuan kupu-kupu yang menghinggapi tubuhku, kepalaku menunduk malu tapi hatiku bersorak.

Dan ketika dia sudah menjadi imamku, setiap hari aku akan melihat senyum manis yang terbit dari wajah teduhnya, setiap hari aku akan merasakan elusan lembut di kepalaku, aku selalu suka alis tebalnya, atau bulu mata lebatnya, atau tertawanya yang terdengar renyah.

Dan kini bukan aku saja yang bisa menikmati itu semua, tapi sekarang juga ada wanita lain yang bisa merasakan kasih sayang tulusnya, yang bisa melihat senyumnya, mendengar tertawanya. Aku begitu sedih mendapati kenyataan bahwa kini bukan aku saja yang memilikinya tapi juga ada perempuan lain.

Aku lebih luka lagi ketika sebuah harapan yang sudah lama suamiku nantikan dariku ternyata dia dapatkan dari rahim istrinya yang lain. Mengapa sekarang aku jadi merasa bahwa aku hanyalah parasit dalam hidupnya, aku merasa tidak bisa menjadi istri yang baik, masak tidak bisa, aku manja, aku cengeng, aku selalu cemburu, dan aku tidak bisa memberikan kebahagian untuknya.

Ada saat-saat dimana aku ingin pulang, ada saat-saat dimana aku ingin merasakan pelukan umi, ada saat-saat aku ingin menangis dalam dekapannya. Tapi aku tidak akan melakukan itu, abi dan umi selalu menasehatiku untuk tidak menjadi istri seperti itu, yang ketika ada masalah dalam rumah tangga selalu lari pada orangtua.

Mereka bilang aku perempuan yang berpendidikan, aku gadis yang pintar, tapi nyatanya perempuan biasa saja seperti Anisa bisa menjadi istri yang lebih baik untuk suamiku.

Dan sekarang aku seperti gadis konyol, duduk termenung mengelus perutku membayangkan aku yang kini tengah hamil itu. Namun aku kembali tersadar, melakukan itu hanya akan menambah perih di hatiku. Saat ini aku hanya berharap cinta dan kasih sayang dari suamiku tidak akan berubah. Jika itu terjadi maka jika aku tidak bisa sabar, pilihan selanjutnya adalah kembali pada dekapan umi.

Seandainya saja kisahnya tak serumit ini, mungkin hanya aku satu-satunya wanita yang memiliki hatinya. Begitu rumit, hingga aku begitu sakit bahkan untuk sekedar mengenangnya.

Lamunanku terbuyarkan, saat suara pintu berdecit tanda seseorang masuk, dan tanpa menoleh pun aku tahu siapa orang itu. Memangnya siapa lagi yang akan memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu dulu selain suamiku. Bahkan sekarang dia tengah memelukku dari belakang, aku bisa merasakan bahwa sekarang dia tengah tersenyum. Dan ketika ku membalikan badan, benar saja dia sedang tersenyum, dan aku tahu apa penyebab senyumnya itu.

"Kamu kenapa?" Tanyanya ketika aku tidak menanggapi senyumnya dan malah berjalan ke tepian kasur.

"Aku tidak papa" Jawabku biasa saja.

"Apa kamu tidak senang dengan apa yang terjadi pada Anisa?"

Pertanyaannya itu tentu saja membuatku sedikit terkejut, bagaimana bisa Fahmi memiliki pemikiran itu.

"Tidak, tentu saja aku senang...apa pun yang membuatmu bahagia pasti aku akan senang"

"Tapi aku tidak melihat itu di wajahmu" Dia berkata dengan raut datar sepertinya Fahmi tersinggung.

"Tidak, sungguh. Aku hanya–hanya...." Aku menggantungkan kalimat karena merasa perkataan ku salah.

"Apa?" Dia memandangku lekat.

Air mataku mulai luruh, aku menautkan jari-jariku dan mengalihkan pandanganku pada arah lain "A–aku hanya takut kehilangan mu, aku hanya takut kau tidak akan menyayangiku lagi, aku takut perhatianmu akan berkurang, aku takut kamu tidak seperti dulu lagi" Aku mulai terisak "Aku tau ini terdengar kekanak-kanakan, tapi itu yang aku rasakan, begitu banyak ketakutan dalam diriku"

Dia memegang kedua bahuku lalu memutar badanku agar menghadapnya "Dengar...." Dia memegang pipi kiriku "Kenapa pikiran mu begitu jauh, jauh hingga aku tidak bisa memahaminya. Aku memang sudah mengingkari janjiku kepada ayahmu untuk tidak menyakitimu dan membuatmu menangis tapi aku mengingkarinya dengan membagi cintamu. Tapi aku tidak akan mengingkari janjiku pada Rabbku untuk selalu menyayangimu" Aku bisa melihat ketulusan di matanya, dia juga terlihat berusaha meyakinkanku

"Dia sekarang ada di rahim Anisa, dan aku sangat bahagia karenanya, aku tak bisa bohong. Tapi, kamu tetap sumber bahagiaku. Jadi mulai sekarang jangan lagi berpikir untuk hal yang tak seharusnya hmm" Fahmi tersenyum lalu mengusap buliran air mataku setelah itu dia memelukku erat.

Kata-katamu begitu lembut dan tulus hingga bisa menenangkan suasana hatiku yang sempat kacau. Tapi maaf, sepertinya itu hanya untuk sementara. Karena pada dasarnya pikiran-pikiran seperti itu akan terus menghinggapi hati dan kepalaku. Aku tak sebaik yang orang kira, aku bukan perempuan yang benar-benar tabah, aku hanya perempuan cengeng yang penuh prasa.

Fahmi, maaf. Aku tidak tahu apakah nanti aku masih bisa bertahan.

See you ya❤️

Di antara Dua Hati (Sudah Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang