Bisakah Aku Jadi Langit Biarku Lindungi Mendungmu

2.6K 132 4
                                    

"Tak bisa kau paksa cintaku berpindah kepada yang lain, sampai napasku habis ku mau denganmu" -Fahmi




Fahmi Pov

Mungkin sebagian orang akan begitu membenciku, bahkan kaka iparku pun sudah tidak ingin bertemu denganku lagi. Saat pernikahan ku dengan Anisa saja teh Najwa tidak datang. Aku cukup memaklumi akan hal itu, aku memaklumi jika teh Najwa nembenciku karena aku telah menyakiti adik kesayangannya.

Aku tidak pernah bermimpi ataupun membayangkan bahkan untuk satu detik saja aku tidak pernah membayangkan akan menikahi dua perempuan. Selama hidupku aku hanya mencintai dua perempuan, wanita yang mempertaruhkan nyawanya untukku dialah ibuku, dan perempuan yang ku temui kala aku masih remaja dan perlu waktu lama untukku menunggu hingga kami benar-benar siap untuk saling mengungkapkan rasa dalam sebuah ikatan yang di ridhoi-Nya dialah Syakia gadis dengan sejuta sayang.

Bahkan sampai detik ini pun aku tidak mencintai wanita lain selain dua wanita itu, bahkan Anisa yang sudah menjadi istriku aku belum bisa mencintainya.

Jika bertanya apa aku menyayanginya, maka tentulah aku menyayanginya karena dia istriku yang merupakan tanggung jawabku sekarang. Tapi, jika bertanya apa aku mencintainya jawabanku cintaku masih dimiliki Syakia.

Aku menikahi Anisa bukan keinginanku. Aku ingin menolongnya. Ibunya telah memberi wasiat pada abi bahwa salah satu dari anak abi harus menikahinya. Aku menerima menikahinya karena aku ingin menolong perempuan itu bahkan saat aku menerimanya aku belum melihat wajahnya, aku belum tahu siapa dia, hatiku tersentuh dengan kisahnya yang di ceritakan abi, dari situ lah aku merasa sangat ingin menolongnya.

Namun aku tak tahu bahwa ceritanya akan serumit ini. Aku tidak tahu bahwa dengan membawa Anisa ke dalam kisahku dan Syakia akan membuat ceritanya berantakan. Tapi aku tak bisa menolak jika takdir membawa Anisa ke dalam kehidupan kami. Yang ku tahu, perjalanan hidup manusia bukan kita yang mengatur skenarionya, disini aku hanya menjalaninya, menjalani apa yang sudah ditakdirkan padaku.

Aku sakit ketika melihat Syakia menangis dan aku lebih sakit lagi ketika aku adalah sumber air mata itu. Tapi aku tak punya pilihan.

Bahkan saat mengetahui Anisa hamil aku bingung aku harus senang atau sedih. Di satu sisi aku sangat menginginkan seorang anak dan telah lama menantikannya, tapi aku ingin dari Syakia. Namun jika Rabbku memberinya dari rahim Anisa, maka tidak alasan untuk ku tak bahagia.

Aku tahu Syakia akan merasakan sakit ketika mengetahuinya, ketika mengetahui bahwa bukan dia yang mengandung anakku, aku juga sama sakitnya. Tapi, itu bukan alasan untuk aku tidak memperdulikan Anisa.

Saat itu kebahagian dan kesedihan datang menghampiriku secara bersamaan. Aku begitu bahagia ketika Anisa akhirnya mau berhijrah menjadi lebih baik. Namun, disisi lain aku begitu sedih melihat Syakia begitu tersiksa dengan berpura-pura tersenyum dan baik-baik saja.

Satu hal yang aku tahu, Syakia adalah perempuan penyayang. Dia begitu menyayangi Ilham yang bukan siapa-siapa baginya. Dan aku yakin dengan sifat penyayangnya dia akan bersedia membantu Anisa belajar menjadi sosok lebih baik. Dalam perjalanan hidupku belum ku temui sosok perempuan seperti dia, bahkan aku sempat merasa bahwa aku tidak pantas untuknya. Namun, bila suatu saat Syakia memutuskan untuk berhenti bertahan dalam kisah ini, maka hidupku akan berada dalam kehancuran.

***

Saat ini, perempuan itu masih tertidur bahkan ini sudah sore. Aku menunggunya dari tadi dan aku tak beranjak dari ruangan ini meskipun aku tak ikut tertidur bersamanya, yang kulakukan hanya memandangi tidurnya, sesekali juga mengesampingkan beberapa helaian rambut yang menutupi wajahnya. Sudah ku bilang, aku hanya akan melihat rambut hitam legamnya saat kami sedang berdua saja. Karena di muka umum dia akan menjadi perempuan biasa dengan gamis polos longgar dan kerudung pasminanya, tapi percalah, dia selalu terlihat cantik. Ah iya, bahkan dia tidak mengerti cara menggunakan make up dengan benar. Jika kau memberinya alat itu, dia akan menerimanya dengan senang hati, namun hasilnya dia akan seperti badut. Hah aku tak bisa menahan tawa saat mengingat itu.

Kali ini dia menggeliat, sepertinya dia akan bangun dari hibernasinya. Hey, aku berlebihan jika menyebutnya hibernasi. Tapi sungguh, dia tidur sangat lama.

"Hey, sudah bangun" Ucapku saat dia mengerjapkan matanya. "Kenapa kau tidur sangat lama" Tanyaku kemudian.

Sekarang dia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang "Kenapa? Apa kamu juga akan mempermasalahkan tentang tidurku" Sarkasnya.

Aku berfikir sejenak, apa pertanyaanku salah?

"Aku hanya bertanya" Kataku.

Dia hanya diam, lalu bilang "Aku lapar" Ucapnya kemudian.

"Yasudah, kita masak yuk" Ajakku antusias.

"Kita? Tidak. Kamu yang akan memasak untuk kita kali ini" Ucapnya.

Aku sempat mengerutkan kening tapi kemudian "Baiklah, tunggu disini" Sepertinya memasak bukan suatu hal yang buruk, jadi aku akan melakukannya.

Aku melenggangkan kaki ku keluar kamar, tapi ku dengar suara ketukan langkah kaki di belakangku. Aku menoleh, dan Syakia berjalan di belakangku dan menatap ke arah lain. Padahal aku sudah bilang untuk menuggu di sini. Tapi itulah dia dengan keras kepalanya.

"Mau kemana?" Tanyaku seraya menoleh padanya.

"Aku ingin ke dapur. Kenapa? Tidak boleh? Itu kan juga dapurku" Jawabnya datar.

"Aku kan sudah bilang untuk menunggu saja di sini" Ucapku lagi.

"Aku tidak mau. Aku ingin ke sana" Nah kan aku sudah bilang kalau dia keras kepala.

Sebenarnya bukan apa-apa, hanya saja aku takut nanti akan grogi kalau di lihatin. Karena itulah aku memintanya tetap di sini. Tapi ya, ya begitulah.

Sampai di dapur, aku mengambil dua butir telur, tiga buah cabe, dua helai daun bawang dan nasi. Rencananya aku akan membuat nasi goreng, yang simpel-simpel saja lah. Jangan dibuat susah kalau masih ada yang mudah.

Aku menghidangkannya ketika sudah selesai, aku belum mencobanya tadi. Jadi, aku tidak tahu rasanya bagaimana. Tapi yang penting jadi kan, sejauh ini sih menurutku berhasil.

Syakia mulai memakannya, aku sedikit menoleh dan dia mengerutkan kening seperti tengah menimang-nimang rasanya. "Tidak enak, hambar" Ucapnya kemudian.

Aku menghentikan sendok yang akan memasuki mulutku, aku menatapnya, hey aku saja tidak pernah berkomentar saat dia memasak kurang enak, tapi sekarang dia dengan padat dan jelas mengkritik masakanku. Sungguh tidak menjaga perasaan.

"Yasudah, kalau tidak enak tidak usah dimakan" Ucapku kesal.

"Aku ingin punyamu" Ucapnya. Tunggu. Maksudnya apa? Apa mungkin....

"Jangan mikir aneh-aneh, maksudku ingin nasi goreng punya kamu, yang ada di piring mu" Ucapnya cepat, menghentikanku yang sempat melongo tadi, karena sempat berpikir begitu.

"Oh, kirain?" Jawabku enteng sembari memasukan suapan nasi ke dalam mulut.

"Kirain apa?" Tanyanya sarkas.

"Enggak, bukan apa-apa" Malah aku yang gelagapan.

"Yasudah sini piring kamu"

"Tapi kan sama saja rasanya" Ucapku.

"Tapi aku mau nasi yang itu" Dia memaksa.

Aku menghela napas dan memberikan nasi di piringku dan mengambil nasi miliknya.

Begitulah, sampai selesai makan dia terus bersikap seperti itu. Sepertinya kali ini aku yang harus bersabar. Tapi tidak papa karena aku selalu suka apa pun darinya bahkan sikapnya yang sekarang.

Bagaimana kabar hari ini? Semoga selalu baik-baik saja ya😊

Masih benci Fahmi gak? Dia udah jelasin panjang lebar kali tinggi lho😁

See you ya❤️

Di antara Dua Hati (Sudah Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang