Jika Itu Untukmu

2K 161 17
                                    

Sudah dua minggu Fahmi di tahan, dan selama dua minggu itu Anisa selalu rutin menjenguk Fahmi. Sementara Syakia dia tidak pernah menemui Fahmi lagi. Syakia justru setiap hari pergi ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan orang itu. Dan syukurnya orang itu sudah sadar dari komanya.

Setelah mendapat kabar bahwa orang itu sudah sadar dari komanya, Syakia segera pergi ke rumah sakit untuk menemui orang itu.

Dengan izin dari keluarga korban, Syakia memasuki ruang rawat orang itu. Dia masih terlihat lemas sekali di atas ranjang rumah sakit saat Syakia memasuki ruangan itu.

Orang itu menoleh karena mendengar suara pintu di buka. Dia sedikit terlihat bingung karena mungkin tak kenal dengan Syakia yang tiba-tiba memasuki ruangannya. Syakia melangkah mendekati dan berdiri di samping ranjang rumah sakit tempat orang itu terbaring.

"Assalamualaikum, tuan" Ucap Syakia dengan senyum.

"Waalaikumsalam" Jawabnya pelan.

"Gimana keadaan anda sekarang, paa sudah lebih baik?" Syakia membuka obrolan.

"Iya, alhamdulillah, tapi maaf kalau boleh tahu anda siapa, apa mbak mengenal saya?" Ucap orang itu dengan raut bingungnya.

"Syukurlah, saya istri orang yang waktu itu ada di tempat insiden anda tertusuk" Ucap Syakia.

"Ah iya, sangat ingat dengan mas itu, dua yang menolong saya, saya memintaku untuk mencabut pisau yang menusuk perut saya karena saat itu saya sudah sangat lemas dan tidak sanggup untuk melepas pisau itu dari tubuh saya" Ucap orang itu mengenang kejadian saat penusukkan itu.

"Lalu dimana dia sekarang, saya ingin berterimakasih padanya" Lanjutnya.

"Dia..." Syakia menunduk dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Dia di kantor polisi" Ucap Syakia pelan.

"Polisi? Kenapa?" Ucap orang itu.

"Saat kejadian itu, warga yang tak sengaja melintas di daerah sana melihat suami saya bersumpah darah dari anda dengan pisau di tangan kemudian warga menyimpulkan bahwa suami saya yang mencoba membunuh anda" Lirih Syakia parau.

Orang itu sedikit melongo "Tidak, itu tidak benar, setelah saya pulih saya janji akan datang ke kantor polisi untuk menjadi saksi bahwa suami mbak tidak bersalah justru dia sudah menolong saya" Ucap orang itu meyakini.

Mata Syakia sedikit berbinar, secercah harapan Fahmi lepas dari tuduhan akhirnya menghampirinya.

"Terimakasih, terimakasih karena anda sudah bersedia menjadi saksi, saya benar-benar tidak harus apa saat tahu suami saya di tangkap polisi" Lirih Syakia lagi.

"Mbak tenang saja, semua akan baik-baik saja" Ucap orang itu dengan senyum.

Syakia menyeka air matanya "Terimakasih, besok mungkin saya akan kesini lagi untuk menjenguk anda, sekarang saya permisi, semoga anda lekas pulih" Ucap Syakia.

"Iya mbak" Ucap orang itu, setelah itu Syakia pamit dari sana.

°°°

S

etelah satu minggu berlalu akhirnya kini mereka di pertemukan di meja sidang. Sebelum hakim menjatuhkan hukuman pada Fahmi, orang itu datang bersama istrinya dia masih menggunakan kursi roda.


"Yang mulia" Ucap orang itu ketika memasuki ruang sidang. Semua orang menoleh padanya, termasuk Fahmil. Sementara Syakia yang duduk di kursi paling belakang dia tersenyum senang pada orang itu begitupun sebaliknya orang itu juga menatap Syakia dan tersenyum padanya.

"Saya adalah korban penusukan itu, dan saya bersedia menjadi saksi bahwa mas Fahmi bukan orang yang melakukan penusukan itu, tapi justru dia yang mencoba menolong saya" Ucap orang itu lantang.

Setelah melewati berbagai perdebatan dan sanggahan akhirnya Fahmi dinyatakan tidak bersalah, karena kesaksian dari korban menjadi bukti yang sangat kuat bahwa Fahmi tidak bersalah.

Fahmi keluar dari ruangan sidang dalam gandengan Anisa, sementara Syakia hanya memperhatikannya dari kejauhan dan Fahmi hanya meliriknya sekilas, Syakia yakin saat ini Fahmi pasti marah padanya karena sikap Syakia terkesan seperti tidak peduli, dan selama beberapa hari itu Syakia tidak pergi kantor polisi untuk menemui Fahmi, bahkan Syakia tidak menepati janjinya waktu itu yang mengatakan kalau esok dia akan menemui Fahmi lagi.

Tapi Syakia bersyukur ada Anisa menemani Fahmi saat dirinya tak bisa di samping Fahmi beberapa waktu lalu. Tak mengapa jika Fahmi marah padanya sekarang, karena yang penting sekarang suaminya itu sudah bebas dari ancaman hukuman, Syakia lega bisa menyelesaikan masalah ini, sekarang mungkin Syakia bisa sedikit tidur nyenyak. Dia tersenyum dalam diamnya menatap punggung suaminya yang mulai menjauh dari pandangan.

"Mbak Syakia" Sapa seseorang yang membuyarkan lamunan Syakia.

"Tuan?" Syakia mengalihkan pandangan pada orang itu bersama istrinya.

"Mbaknya tampak melamun" Sahut istrinya.

"Ah tidak, saya hanya masih terharu suami saya sekarang sudah bebas dari ancaman hukuman, sekali lagi saya ucapkan terimakasih bu, pak" Ucap Syakia tulus.

"Iya mbak, kami juga senang suami mbak tidak tertuduh lagi" Ucap mereka dengan senyum. Mereka saling melempar senyum sebelum orang itu dan istrinya pamit.

Jika selama ini Syakia selalu mengalah maka kali ini dia lebih mengalah lagi. Bukan tidak mau Syakia untuk selalu di samping Fahmi di saat-saat sulitnya, tapi Syakia hanya ingin memberi kesempatan pada Anisa untuk bersama Fahmi lebih banyak karena sekarang Anisa adalah yang paling membutuhkan Fahmi. Karena itulah selama ini dia membiarkan Anisa yang selalu menemani Fahmi sementara dirinya tak pernah menjenguk Fahmi lagi, tak peduli apa tanggapan Fahmi nantinya.

Syakia berdiri tersenyum samar menatap Fahmi dan Anisa keluar dari ruang sidang menyisakan dia dan beberapa orang yang masih di ruangan itu, setitik air mata mulai jatuh dari kelopak matanya tapi ia buru-buru menghapusnya kembali, saat ini bukanlah saatnya untuk memikirkan tentang perasaan dan hati.

   ***

Lima bulan berlalu setelah Fahmi dinyatakan tidak bersalah dalam kasus itu. Sekarang hari-hari mereka berjalan seperti biasanya, hanya saja sikap Fahmi tidak sehangat dulu. Meskipun Fahmi tetap perhatian pada Syakia tapi tetap saja berbeda dengan dahulu, Syakia dengan jelas merasakan perbedaan itu.

Kondisi Anisa masih di tengah-tengah tidak buruk tapi juga tidak membaik. Namun, seperti keinginan Syakia, sekarang Fahmi menjadi lebih perhatian pada Anisa, bahkan Fahmi tidak peduli sepenting apa pun urusannya, jika Anisa memintanya datang dia akan langsung berlari ke arahnya.

Meskipun Syakia tidak keberatan akan hal itu karena memang seharusnya begitu, tapi tetap saja hati adalah satu-satunya bagian tubuh yang menolak berdusta, jika senang ya senang, jika bahagia ya bahagia, dan jika sakit ya dia pun begitu. Netral.

Namun Syakia tetaplah dirinya meskipun di dalam begitu tercabik-cabik tapi di luar dia tetaplah tegar. Seperti sekarang, Syakia hanya mampu menatap nanar Fahmi dan Anisa yang tengah duduk tertawa di kursi teras rumah mertuanya. Bahkan Syakia juga melihat Fahmi menyuapi Anisa dan mengelus kepala Anisa dengan sayang yang kini sudah mengenakan hijab, dalam penglihatan Syakia Fahmi bersikap seperti hanya Anisa istrinya sekarang.

Syakia berbalik dan melangkah lambat di antara koridor pesantren dengan tatapan kosong "Tak apa Kia, memang sudah begini alur kisahnya, kamu hanya perlu menikmati jalan ceritanya hingga epilog dari kisah ini. Kisah dua hati yang mencintai satu cinta" Batinnya bermonolog.

Setelah itu dia menyeka air matanya dan berjalan cepat bahkan setengah berlari. Memang seperti itu, jika dari awal sudah memutuskan untuk ikhlas maka kedepannya pun kamu haruslah begitu.

See you❤️

Di antara Dua Hati (Sudah Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang