"Riuk piuh dunia begitu ramai, tapi aku begitu sepi, begitu hampa, seperti tanpa rasa"–Syakia
Part yang ini full Syakia yang berbicara.
Syakia Pov
Saat ini aku tengah duduk di teras rumah menatap daun-daun dari tangkai bunga yang berliuk-liuk mengikuti irama angin.
Kini keadaanku sudah lebih baik dibandingkan saat di rumah sakit waktu itu. Bukan berarti aku melupakan atas apa yang terjadi kala itu, namun aku hanya mencoba untuk berlapang dada dari apa yang telah ku lalui.
Jika boleh bilang, dulu aku hampir menyerah, aku merasa begitu hancur, aku merasa begitu bersalah, aku merasa telah membunuh anakku untuk melindungi anakku yang lain. Bahkan aku juga harus menerima kemarahan umi, dan sampai saat ini umi masih enggan berbicara pada Fahmi. Iya, hubungan ibuku dan suamiku kini renggang.
Aku tidak mengerti mengapa takdir begitu senang mengaduk hati dan perasaanku. Tapi kuyakinkan hati bahwa suatu saat pasti aku bahagia, entah kapan, aku juga tidak tahu.
Fokus ku teralihkan pada Anisa yang kini tengah berjalan menuju ke arahku, dia sendiri, tidak bersama Sarah atau Ilham, padahal aku merindukan mereka. Harusnya jika ingin kesini, Anisa membawa mereka juga.
"Assalamualaikum, Syakia" Ucapnya dengan senyum.
"Waalaikumsalam, Anisa, ayo masuk" Sambutku.
"Ah tidak Kia, kita bicara disini saja" Jawab Anisa.
"Tidak Anisa, di dalam akan lebih nyaman ngobrolnya, lagian kan kamu jarang-jarang berkunjung ke rumahku" Kataku berusaha membujuk. Dan akhirnya aku melihat anggukan dari Anisa.
"Duduklah, biar ku ambilkan minum dulu" Kataku lagi saat kami sudah di ruang tamu.
Aku beranjak ke dapur untuk membuat secangkir teh manis hangat karena udara hari ini cukup sejuk, jadi kupikir teh hangat mungkin lebih cocok di suguhkan dibanding minuman jus. Jangan mengejek ya, gini-gini juga, teh buatanku enak, ya karena teh seduh .
Aku kembali menemui Anisa dengan satu cangkir pada nampan yang ku bawa.
Setelah beberapa saat terdiam, Anisa mulai bicara. Dia menangis dan aku tak mengerti apa yang membuat dia menangis.
"Ada apa Anisa? katakan" Tanyaku bingung.
Dia menatapku sendu "Saat ini aku tidak tahu apa aku harus minta maaf atau berterimakasih"Ucapnya, aku semakin bingung.
"Kamu sudah menyelamatkan anakku aku sangat berterimakasih atas itu, tapi karena itu juga kamu kehilangan bayi kamu sendiri" Dia melanjutkan dengan isakan.
Aku mengelus bahunya pelan "Memang jalannya sudah seperti itu, dan aku patuhi suratan takdirku, tidak papa Anisa, kamu tidak perlu minta maaf"
"Tapi aku tetap tidak tenang, sikapku padamu tidak pernah baik, aku selalu iri dan marah"
"Aku juga, aku selalu cemburu padamu, jadi sama kan" Jawabku. "Lagian, saat itu aku bukan menolong anakmu, tapi anakku" Ucapku kemuadian, sengaja menghiburnya.
Anisa memelukku, aku pun sedikit kaget dengan aksi tiba-tibanya "Sudahlah Anisa, lagian kejadian itu sudah lama, aku sudah tidak lagi sesedih dulu sekarang" Aku mengusap-ngusap punggung belakangnya.
Kami lanjut mengobrol, sebuah momen yang begitu langka, bahkan mungkin obrolan seperti ini pertama kali sejak Fahmi dan Anisa menikah. Namun, entah kenapa aku melihat muka Anisa agak pucat, apa dia sakit? Pikirku.
Beberapa saat kami mengobrol, seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam, lalu masuk rumah dengan sendirinya. Kami kompak menoleh padanya. Dia adalah suamiku, ralat maksudnya suami kami. Maaf, terkadang aku masih merasa bahwa Fahmi hanya milikku.
Fahmi sedikit kaget ketika mendapati kami sedang duduk berduaan, dia pasti mengira kami sedang bertengkar, sudah ku bilang kan kalau seperti ini momen langka. Jadi wajar jika Fahmi berfikir seperti itu.
Fahmi berjalan ke arah kami dan ikut mendudukan dirinya. Tapi, bukan duduk di tengah-tengah kami seperti di film-film ya, dia duduk sofa lain sebrang meja berhadap-hadapan dengan kami.
"Kalian tidak sedang bertengkar kan?" Tanyanya heran.
"Mmm jangan karena mata Anisa sembab, kamu ngira aku yang bikin Anisa nangis ya" Ucapku pada Fahmi.
"Wajar aja kan jika aku berfikir seperti itu, karena tidak ada lagi pihak lain untuk di salahkan" Jawabnya setengah menggodaku.
"Husnudzon a, bukannya kamu selalu bilang begitu padaku" Ucapku.
"Tadi kamu duluan yang mikir enggak-enggak, hayo" Timpalnya.
"Sudah, kami tidak bertengkar Fahmi" Anisa yang bicara.
"Hm ya syukurlah, jadi dalam rangka apa kalian bicara berduaan seperti ini?" Tanya Fahmi.
"Aku hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan Syakia" Jawab Anisa.
Fahmi tersenyum mendengar penuturan Anisa. "Itu bagus Anisa" Ucap Fahmi.
Anisa mengangguk "Mm kalo begitu, aku pamit pulang ya, takut Sarah nangis juga" Pamit Anisa buru-buru, mungkin canggung karena kita bertiga mengobrol sama-sama.
"Apa perlu ku antar? Kau tampak pucat, apa kau sakit?" Tanya Fahmi.
"Iya, biar Fahmi mengantar" Imbuhku
Anisa menggeleng "Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir, lagian kan jaraknya juga dekat" Anisa sedikit terkekeh. Kemuadian dia meninggalkan rumah kami.
Selepas Anisa pergi, aku dan Fahmi hanya saling tatap, kemudian tanpa bicara padanya aku beranjak pergi ke rooftop untuk mengangkat jemuran, mengingat cuaca cukup sejuk mungkin hari ini akan hujan.
Sekembalinya dari rooftop aku melihat ke arah sofa, Fahmi sudah tidak ada. Aku sempat berfikir dia kemana, namun saat ku dengar bunyi nyaring sendok dari arah dapur, aku langsung tahu bahwa dia ada di sana.
Dia kembali ke sofa dengan secangkir kopi di tangannya, aku juga melanjutkan aktivitasku melipat baju di tempat lain. Kami hanya saling diam sampai Fahmi bicara "Sampai kapan kita akan seperti ini, Kia?" Tanyanya santai tanpa menoleh ke arahku.
Sebenarnya sudah lumayan lama aku dan Fahmi tidak saling bicara seperti biasanya. Aku tidak marah padanya, hanya saja aku merasa sedang tak ingin bicara dengan orang, sekalipun itu dengan Fahmi.
"Aku tidak keberatan jika kamu marah padaku, aku pantas. Hanya saja....aku merasa tidak nyaman jika kita tak saling bicara dan berjauhan seperti ini" Lanjutnya.
Ingin sekali mengatakan bahwa aku tidak marah, aku hanya butuh waktu untuk terbiasa seperti dulu, entah kenapa sulit sekali bilang seperti itu. Tapi, Fahmi benar, kami tidak mungkin akan selalu seperti ini.
Jadi, aku manaruh baju-baju yang sudah rapi di meja dan beranjak menghampiri Fahmi yang tengah duduk di sofa tadi membelakangiku.
Aku memeluk lehernya dari belakang yang terhalang sandaran sofa "Aku tidak marah padamu, aku hanya butuh waktu untuk terbiasa seperti dulu, aku harap kamu mengerti" Bisik ku pada telinganya, kemudian aku mengecup pipi kiri Fahmi. Jujur saja mungkin ini pertama kali aku bersikap seperti itu pada Fahmi, mungkin juga dia sedikit terkejut.
See you❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Di antara Dua Hati (Sudah Terbit)✅
Ficção GeralFahmi dan Syakia selalu hidup bahagia dan harmonis setelah hampir 2 tahun mereka menikah. Namun tiba-tiba bahkan tak pernah terpikirkan sedikit pun oleh Syakia bahawa suaminya akan datang kepadanya untuk meminta ijin menikah lagi. Bibir Syakia kelu...