17. Still Care

212 45 5
                                    

Tiga hari belakangan ini, Dino menyempatkan dirinya mengantar Fara ke kantor. Setelah seminggu beristirahat di rumah atas saran dokter, Fara kini sudah bisa beraktifitas kembali meskipun tak seleluasa di hari-hari sebelumnya. Telapak tangannya masih dibebat, luka jahitan masih terasa nyeri. Membuat Fara belum bisa menyetir sendiri. Kini pekerjaan menumpuk dan target penjualan sudah menyambutnya kembali dengan riuh.

"Besok gue berangkat sama Valen aja yah Din, masa lo mesti bolak-balik terus dari rumah ke kantor gue sih?"

"Yaa... akunya aja nggak masalah kok, kan sekalian juga aku pulang kerumah nengokin mama papa" ujar Dino membantu memasangkan seatbelt Fara.

"Papa lo gimana ke kantornya kalau mobilnya lo bawa mulu Sayang...?" Fara mencoba merayu kekasihnya sambil memasang mata memelas.

Dino memicingkan matanya, "Nggak mempan Kak... udah deh, kalau aku bilang bisa ya pasti bisa. Kamu nggak usah khawatir, Papa kan bisa pakai mobil kantor"

"Wah lo sih kebangetan dah, jadi Om Erwin sekarang bawa-bawa Van kemana-mana gitu?," Fara menggeleng tak habis pikir.

"Dengan senang hati dia mah... pas aku minta tolong pinjem mobil karena nganterin kamu yang sakit, Papa nggak pake babibu. Katanya pake aja semau kamu, sampe Fara sembuh!"

Kecupan di keningnya ia dapatkan sebelum Dino berlalu ditelan jalanan menuju kampus. Fara kembali ke meja kerjanya, mengecek nama-nama customer yang harus ia follow up hari ini agar proses pengajuan kreditnya lekas disetujui. Setelahnya melalui interkom, ia tersambung ke bagian stok, menyebutkan nomor rangka mobil yang ia catat di jurnalnya, memantau sudah sampai mana unit customernya. Apakah sudah di dealer atau masih tertahan di pabrik.

Masih dengan gagang telepon menempel di telinganya, Fara melihat Damar memasuki showroom. Menempelkan jari di mesin finger print, dan kemudian berlalu menuju smoking area. Tak mungkin jika Damar tidak melihatnya saat itu. Namun Fara mengerti, hal ini akan terjadi. Damar akan mengabaikannya karena kejadian di rumah sakit beberapa waktu lalu. Hingga sekarang pun, tak ada telepon masuk atau chat darinya. Fara tak ambil pusing, ia memaklumi sikap Damar kepadanya. Entah berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan Damar untuk meredakan kekesalannya.

"Mbak Fara lagi berantem ya sama Mas Damar?" Safira akhirnya memberanikan diri bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya.

"Hah..? Nggak tuh" jawab Fara singkat.

"Dari Mbak Fara masuk rumah sakit, Mas Damar jadi aneh."

"Aneh gimana?" Fara bertanya sambil merapikan tumpukan berkas di mejanya.

Safira menopang dagunya, matanya berkedip-kedip seolah memutar kembali ingatannya mengenai Damar seminggu terkahir. "Dateng telat lah, mukanya mendung, udah mana marah-marahin OB mulu. Terus nih Mbak, kan yang kita tahu dia hobi banget nongkrong di showroom tuh, entah ngapain gitu deh dia di sini, nggak tau main game, ngiklan, atau ngobrol sama anak-anak yang lain. Tapi belakangan dia kabur terus. Coba nih nanti abis briefing pasti dia langsung cabut."

"Lagi ada orderan gede kali."

"Ah.. Mbak Fara... jangan begitu, keliatan banget tau. Lagi berantem kan kalian?"

"Kayak anak kecil aja berantem, nggak penting."

"Tuh kan?? terus apaan dong sebutannya?, selisih paham? beda pendapat?. Biar nggak di bilang kayak anak ke...cil ...."

"Bawel lo ya.. mending lo kerjain itu laporan traffic showroom, nanti keburu ditagih sama orang HO."

Safira buru-buru menyalakan laptopnya, dan membuka catatan hariannya untuk segera ia email ke pusat. "Jangan galak-galak sama Mas Damar Mbak..." gumamnya. "Waktu kejadian Mbak Fara, dia tuh bener-bener khawatir banget tau, malah aku lihat dia lebih kayak ketakutan gitu ngeliat Mbak Fara nggak sadar. Mana lagi itu darah dimana-mana ngeri banget, coba deh tanya Valen kalau nggak percaya."

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang