14. De Javu

179 47 1
                                    

Dua porsi batagor, sebungkus gorengan dan tiga gelas tinggi Nutrisari jeruk Maroko dingin tergelar di tengah gazibu sore itu. Seperti biasa, Dino, Mahesa dan Sandy tengah berkumpul disela waktu luang mereka. Mengingat kembali saat-saat menjadi maba yang tak terasa kini ketiganya sudah hampir di garis akhir masa perkuliahan.

Dino sudah memutuskan untuk bekerja di Jakarta sambil membantu usaha kedua orang tuanya di rumah. Sama halnya dengan Mahesa yang masih mencari-cari pekerjaan juga seperti Dino. Sedangkan Sandy nampaknya sudah tenang, karena bulan depan dia sudah mulai bekerja disebuah perusahaan tempatnya ia magang tahun lalu.

"Sayang banget Din, kenapa sih nggak lo ambil aja dulu? setahun dua tahun lah di Malang, itung-itung cari suasana baru, sekarang setahun aja rasanya cepet banget tau, ya nggak Sa?"

Mahesa mendecak sinis mendengar perkataan Sandy barusan. "Weh San... si Sobri ini tuh sebenernya nggak usah kerja juga udah kaya. Secara bapaknya bos konveksi, mana dia anak tunggal pula. Lagian mana mau dia LDR'an sama Fara, orang jarak deket aja masih suka ketar-ketir ceweknya diembat Bang Damar."

"Oh... iya tuh iya...! jadi bang Damar temen sekantor Mbak Fara? mepet Mbak Fara terus? iya gitu Din? bener Si Esa bilang?" celoteh Sandy yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Gara-gara lo sih nggak pake pikiran!" Dino melempari Mahesa dengan cabai rawit dari bungkus gorengan. "Fara jadi bete kemaren ngebahas soal tuh cowok lagi. Awas lo ya gue bales nanti kalau cewek lo nannya-nanyain soal lo ke gue."

Mahesa mengelus-elus lengan Dino di sebelahnya memohon ampun, "Yah... Sob, jangan gitu ngapa... sumpah gue kelepasan kemaren. Otak gue lagi error emang, kaga kayak biasanya."

"Nggak kayak biasanya? bukannya otak lo emang kagak pernah beres?" cibir Sandy sinis. "Terus sepulang dari mi ayam, masih lanjut nggak tuh? serem juga ya kalau Mbak Fara marah. Gue sih asli yaa, kemaren mau ketawa gue tahan aja pas ngeliat si Esa pucet ditodong pertanyaan dari Mbak Fara" Sandy menggeleng.

"Nggak, kalau udah berdua aja sama gue, nggak gitu Fara" jawab Dino singkat

"Maksud lo Sob?", Mahesa menyeringai memandangi Dino.

"Yaa kan gue udah bilang, Fara kalo ribut sama gue tuh lebih suka pake cara ngediemin gue. Kemaren kepancing aja sama omongan lo!"

Sandy mengangguk paham sambil asik menyantap batagor yang kaya akan sambal kacang itu. "Kirain gue kalau lagi berduaan gitu beda cara penyelesaiannya Din", Sandy cengar-cengir,  menaikan kedua alisnya menggoda Dino.

Mahesa tertawa ngakak dan berulang kali menepuk pahanya. Lantas ia menunjuk Dino, "Dia berani begitu maksud lo?" kedua tangannya membentuk tanda petik di antara kepalanya.

Dino reflek menendang paha Mahesa yang tampak puas meledeknya, "Emang temen nggak guna!", lalu meneguk Nutrisari dinginnya hingga habis tak bersisa, "Lo pikir dapetin dia gampang? gue juga harus tau diri, sekarang fakta gue udah sama dia hampir dua tahun tuh bikin gue cukup bersyukur kali. Tau sendiri yang mepet dia bukan kalangan biasa-biasa aja, jadi kalau urusan itu, gue nggak gitu peduliin. Emangnya lo? status masih gebetan juga bakalan lo trabas?!.

Mahesa menyombongkan diri mengangkat jempol kirinya. "Itu pesona gue Sob..." 

"Hati-hati karma Sa. Nanti tiba waktunya lo cinta mati sama satu cewek, tapi gentian lo yang disakitin karena kebodohan lo sendiri di masa lalu. Sekarang lo bisa cengengesan begitu karena belum kena aja..."

"Lah kok lo jadi curhat sih San?" sergah Mahesa, " Dah lah ayo gue kenalin sama cewek baru biar nggak melulu keingetan mantan terus. Cewek gue temen-temennya bening loh asli...!"

Dino mengabaikan obrolan kedua temannya, panggilan masuk di ponselnya mengalihkan perhatiannya saat itu. Setelah dari pagi ia meninggalkan chat yang tak kunjung di balas, akhirnya Fara menelponnya. 

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang