50. Unfaded

157 31 0
                                    

Nathan melepas helmnya kembali saat slingbag yang ia kenakan bergetar karena ponsel yang berada di dalamnya. Dua kakinya mencoba menyeimbangkan mogenya agar tak limbung. Tubuhnya segar masih beraroma sabun, perutnya sudah kenyang terisi makan malam. Sedangkan di satu stang motornya tergantung totebag hijau terang bertulisakan Tupperware. Isinya tidak lain adalah macam-macam jenis lauk yang sudah di siapkan Mamanya untuk mengisi lemari pendinginnya beberapa hari ke depan.

Sebenarnya bisa saja Nathan berangkat dari rumah Ayahnya langsung besok. Tapi dengan membayangkannya saja baginya sudah sangat melelahkan. Macet, motornya berat, dan ia harus repot-repot bangun pagi agar tidak terlambat. Jadi ia memutuskan malam itu juga untuk pulang ke rumah agar senin paginya bisa berjalan paripurna tanpa kendala.

"Nat sorry baru sempet telepon balik. Lagi ribet gue tadi siang. Ada apaan?" sapa Damar di ujung telepon.

"Oh itu, cuma mau ngasih kabar kalau Fara udah balik. Nyokap sih bilang hari ini kayaknya dia udah di rumah Jakarta."

"Ck...akhirnya inget pulang juga tuh cewek. Trus lo di mana sekarang?"

Nathan meletakkan helm di atas tangki bahan bakar mogenya. Sebab lama-kelamaan helm yang ia jinjing di tangan kanannya terasa cukup berat. "Masih di rumah bokap, baru mau jalan pulang."

"Sekalian nengokin Fara kan?"

Ada sedikit jeda waktu saat Nathan hendak menanggapi pertanyaan Damar yang lebih terkesan memerintah itu. "Kayaknya nggak sekarang lah. Nanti aja gampang."

"Wah, perkataan apaan tuh. Seolah-olah dunia udah berakhir aja. Temuin dulu Nat, basa-basi bawain martabak aja di deket komplek rumah dia. Dari pada lo malah nggak bisa tidur pas nyampe rumah." Sahut Damar disertai gelak tawa ledekannya.

Nathan tertawa lirih, "kayak mau ngapel, bawa martabak."

"Itu martabak kesukaan dia, deket kok sebelum belok masuk ke perumahannya. Udah sana buruan jalan, nanti kemaleman. Obrolin nasib hubungan lo berdua, biar lo pada tenang dan nggak ngerasa salah-salahan lagi."

"Ah lagak lo, kayak urusan sama lo udah kelar aja."

Lalu Damar terdengar menghela napas, "Nat... kan lo paham gimana keadaan gue. Udah nggak ke itung lagi gue mah sama Fara."

Berulang kali Nathan mengurungkan niatnya agar tetap berada di jalanan menuju rumahnya. Tetapi, kata-kata Damar sedikit mempengaruhinya ternyata. Membuat motornya berbelok begitu saja mengarah ke rumah Fara.

Oke, Nathan kali ini mencoba. Tapi nanti, setelah ia memanggil nama gadis itu tiga kali dan tidak ada jawaban, maka Nathan bertekad angkat kaki. Mengdalkan takdir saja yang bekerja, membiarkan mereka berdua bertemu entah kapan waktunya.

"Kayaknya enak nih martabak." Nathan bermonolog saat kepulan asap makanan itu menyambar hidungnya. "Kalau anaknya nggak bukain pintu, lumayan nanti martabaknya bakal buat gue sarapan."

Nathan kemudian meluncur memasuki gerbang perumahan Fara. Semakin ia mendekati rumah yang dominan dengan warna putih gading itu, semakin ia merasa grogi. Perasaan lega kemudian menyapanya saat mobil yang biasa Fara kendarai terparkir di dalam garasi. Nathan memarkirkan moge kesayangannya, dilihatnya masih jam delapan. Harusnya gadis itu masih terjaga, menonton series atau mungkin berbenah seperti yang biasa di lakukan saat Fara memiliki waktu luang.

TOK...TOK...

"Fara..." Nathan menarik napasnya dalam-dalam, "Fara..."

Ia menggigit bibirnya cemas, mengintip-intip dari sela jendela. Berharap lampu ruang tamu itu segera dinyalakan oleh si pemilik rumah.

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang