31. Recovery

157 29 1
                                    

Begitu banyak kata untuk menggambarkan patah hati. Sulit, tangis, marah, kecewa, dan sepi misalnya. Jika sebelumnya hari-hari terlewati dengan penuh keindahan, segalanya kemudian akan jadi berbeda tiba-tiba. Seperti ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang jika di ingat lagi dapat berdampak ganda. Antara sedih dan haru bercampur ketika kepingan memori berputar di kepala. Tapi memang itulah jalan yang harus di hadapi, sebagai salah satu resiko saat seseorang sudah berani untuk masuk dalam hubungan percintaan. Tidak ada cara lain, selain menitinya perlahan sambil membiarkan waktu menyembuhkan dengan sendirinya.

Sudut-sudut rumah, nama jalanan yang di lewati, juga tempat-tempat favorit yang sering di datangi saat masih bersama, dapat memicu kembali datangnya kenangan pahit sekaligus manis itu. Di mana ia biasanya melihat senyum Dino, mendengar candaannya yang tidak lucu, melihatnya memanjakannya, dan juga saat keduanya bertengkar lalu memutuskan untuk berpisah.

Semuanya benar-benar sempat menyiksa dalam beberapa waktu. Sampai di titik ini, Fara memutuskan untuk lebih membuka diri pada siapapun yang peduli padanya. Yang menariknya dari titik terendahnya saat patah hati.

"Itu ceweknya Mar?"

"Hah?, apaan?"

"Itu... yang mau di jodohin sama lo?" Fara melebarkan kedua matanya saat Damar baru saja mengakhiri sebuah panggilan video di dalam mobil display Showroom.

"Oh... namanya Gayatri. Teknisnya sih iya kali ya, tapi gue mah masih mandeng dia adek. Masih kecil banget, mana manja pula, kalau kaga di angkat teleponnya maennya ngadu ke Ibu. Cih... males banget."

Mendengar keluhan Damar Fara jadi tertawa, ia duduk di meja kerjanya kembali setelah turun dari lantai dua. "Sukurin. Di suruh cepet-cepet insyaf tuh lo. Gih... buru nikahin, biar lo nggak kebanyakan aksi, taubat dari dunia malam."

"Dih... siapa juga yang mau nikah sama dia. Gue masih bisa nyari calon bini sendiri tau!" sahut Damar sinis.

"Ngejaring ikan mulu kerjaannya, dapet mah kagak."

"Ikannya galak Ra, nggak mau di deketin hahaha..."

Damar dan Fara mengobrol berdua di Showroom sembari menunggu berakhirnya jam kantor sore itu. Dua gelas kopi tersaji di atas meja, masih mengepulkan asap panas karena baru saja beberapa saat yang lalu OB suguhkan. Keduanya terlihat sudah menyelesaikan tugas masing-masing, di tambah lagi ini baru memasuki awal bulan. Belum banyak jadwal pameran, dan belum banyak event yang biasanya membuat mereka sibuk tanpa kenal weekend ataupun tanggal merah.

Damar menyangga dagunya, memandangi Fara yang sibuk membereskan meja kerja. Di tas tangan berwarna hitam berbahan kulit itu Fara mengeluarkan cermin kecil, dan kemudian ia memoleskan kembali lipstik ke bibirnya yang warnanya mulai memudar. Tanpa henti, dasar hatinya masih ingin memiliki Fara hingga kini. Namun apa daya, selalu saja keadaan membuatnya terpaksa mengurungkan kembali keinginannya.

"Ra, nggak mau coba pacaran sama gue gitu?" celetuk Damar.

Beberapa detik Fara menghentikan kegiatannya, meski cermin masih ia pegang tepat di depan wajahnya, sudut matanya melirik Damar.

"Cari perkara nih anak, sama-sama nasib korban perjodohan nggak usah nambah-nambah masalah. Hidup gue udah kusut, gue aja udah nggak tahu kedepannya nanti bisa apa nggak ngejalanin hidup sesuai sama apa yang gue mau."

"Ah... lo, baru belakangan tahu di jodohin aja udah begitu. Apa kabar gue dari jaman sekolah udah di gadang-gadang disuruh nikah sama Aya. Nyantai aja kali, buktinya gue masih bisa tuh beberapa kali pacaran."

"Ya kan itu lo, kalau gue nggak bisa. Gue takut, kalau udah suka sama satu orang gue kadang lupa kalau sedalam dan selama apapun gue jalan sama dia, nggak jaminan gue bakalan bisa bener-bener tahu isi pikirannya. Dia bisa pergi kapan aja, meski kemaren dia jelas bilang mau sama gue sampai mati, hari ini dia bisa pergi gitu aja tanpa alasan yang masuk akal."

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang