32. Silence in Guilty

162 30 1
                                    

Selembar potret kenangan di tangannya mampu membuat jantungnya berdegup cepat saat mengingat memori yang terekam di dalamnya. Di tiap degupannya ada rasa rindu yang sudah lama ia pendam dalam diam. Malioboro, permintaan Fara untuk kembali ke tempat itu di hari jadi mereka yang ketiga tidak mampu ia sanggupi. Swafoto yang Fara ambil saat mereka berboncengan dengan motor tua itu membuatnya semakin merasa bersalah. Seharusnya jika ia sedikit lebih berani, momen itu akan kembali, bahkan akan terulang tiap waktu.

Acara wisudanya beberapa bulan lalu membuatnya berada dalam suasana yang membingungkan. Tentu saja ia bahagia bisa menyelesaikan studinya tanpa kendala dan tepat waktu. Namun saat ia teringat betapa repotnya Fara memilihkan baju apa yang harus ia kenakan saat wisuda, Dino kembali merutuki dirinya. Ia merasa ada lubang besar dalam hatinya. Di mana hari kelulusannya yang sudah ia dan Fara nanti-nanti ternyata terlaksana dalam situasi mereka sudah tak bersama lagi.

"Kangen ya Din?"

Dino duduk di tepian ranjang kamar apartementnya kemudian menoleh, saat bahu kanannya di tepuk Sandy yang duduk di sebelahnya. Niat hati mencari jam tangan di laci nakasnya, ia malah menemukan sekotak kecil polaroid yang merekam banyak memori indah saat masih bersama Fara.

Dino menghela nafasnya, "Banget lah gila... tapi sakit asli dada gue kalo inget dia."

"Gue yang bukan siapa-siapanya Fara aja suka keingetan. Ape lagi lo ya Sob, sabar yaa..." tukas Mahesa dari arah ruang santai.

"Ah elu Sa, gara-gara mulut lo juga kan Dino bubaran sama Mbak Fara."

Mahesa yang sedang asik mengunyah keripik singkong kemudian melengos ke arah kamar Dino. "Bubaran? udah kayak pasar kaget kalo siang-siang aja. Justru Si Sobri harusnya say thank you ke gue. Karena gue udah nyelametin hidup dia dari panggung sandiwara."

"Yaa harusnya lo baca situasi, bukannya malah ngomporin mereka berdua. Ih, sarap lo mah jadi temen, demen banget liat temen lain ke siksa." sahut Sandy dengan raut wajah kesalnya.

"Udah...udah, kenapa jadi ngomongin Fara sih?" Dino beranjak dari kamarnya. "Jadi gimana? mau jalan jam berapa nih kita?"

Hari minggu itu ketiganya berencana untuk datang ke acara pernikahan salah satu kawan angkatanya. Mahesa mengenakan kemeja batik lengan pendek berwarna navy sudah sempurna dengan tatanan rambut klimis, sedangkan Sandy memakai kaos polos putih, yang rencananya akan di rangkap dengan jas casual agar penampilannya terkesan tak terlalu santai.

Begitupun Dino, mirip-mirip dengan Mahesa, gayanya sudah seperti pegawai kelurahan. Memakai batik, namun bedanya yang ia pakai memiliki banyak memori. Salah satunya dipakai saat menemai Fara ke gedung di mana salah satu customernya yang berprofesi sebagai pengusaha muda melangsungkan pernikahan yang cukup megah.

Mahesa mendecak-decak mengamati ponselnya. Terlihat jelas jika sesuatu yang merusak moodnya bersumber dari pesan yang ia baca. "Sob, Si Rissa minta di jemput di toko nih katanya. Hadeh ribet amat yak ini manusia satu."

"Ya udah ayo makanya jalan sekarang aja deh, takut macet nanti ke arah Carissa nya." sahut Dino.

Sandy menghampiri Mahesa, ia kemudian mengenakan jas yang sedari tadi ia letakan di sofa ruang santai. "Gue nggak mau nyetir ah, biar Si Esa aja. Jalur keramat ke sana, ngeri motornya udah kayak pasukan belalang tempur. Salah-salah bisa gantiin repair mobil bokap lo Din gue."

"Hiddih... gue gitu yang nyetir? ogah... !!" sungut Mahesa. "Kalau itu mah urusan Si Sobri, dia yang iyain mintanya Rissa, ya tanggung jawab lah."

"Emang pada nggak tahu diri yah jadi temen. Nginep di sini gue suguhin makanan, sampe gue rela tidur di karpet, kopi juga tuh habis serenceng, mau jalan ada mobil tinggal gas. Sekarang gue masih di suruh nyetir? Keterlaluan lo dah beneran..." keluh Dino sambil berjalan gontai di koridor apartementnya.

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang