44. A Hint

128 27 0
                                    

"Jadi gimana, tempat mana lagi nih yang mau kita buru Sob?"

"Hah? Buru? maksudnya?"

"Hehehe... memburu Fara." 

Mahesa terkekeh, tidak dengan Sandy. Ia melempar tatapan sinis karena kebiasaan Mahesa selalu bercanda di waktu yang tidak tepat. Sedangkan Dino masih menatap kosong rumput hijau di halaman rumah Sandy, dua kakinya ia ayun-ayunkan. Menggantung di pinggiran gazebo. 

Sudah hampir tiga bulan ia tidak mendengar kabar apapun dari Fara. Sudah tak terhitung tempat-tempat yang ia datangi. Orang-orang yang ia tanyai, semuanya tak membuahkan hasil. Sampai sekali waktu ia memberanikan diri bertemu dengan mantan Bos Fara. Untuk menanyakan duduk permasalahan yang sebenarnya. Pun tak ada hasil. 

Jika Fara berniat untuk bergabung kembali ke dunia otomotif, seharusnya orang yang paling pertama mengetahuinya adalah mantan Bosnya. Sebab, perlu rekomendasi, dan dunia di mana Fara bekerja sebenarnya seperti sebuah jaring yang saling taut menaut. Meski berbeda bendera, pada dasarnya untuk persoalan pegawai, sangat mudah untuk di tracking riwayat pekerjaanya.

Dino sempat meminta tolong hal itu. Memohon agar di beri kabar jika ada tanda-tanda pergerakan Fara, namun hingga sekarang, Bos Fara itu tidak kunjung mengabarinya. Artinya Fara mungkin masih ingin sembunyi, atau mungkin dia bekerja di bidang lain. Bukan lagi dunia otomotif yang selama ini menjadi dunianya.

"Dulu Fara suka banget ngajakin gue makan di daerah Karawaci. Di sana ada perumahan yang si sulap jadi rumah kost. Kebanyakan ada anak-anak UPH di sana, di dalem komplek itu juga ada kawasan kulineran gitu. Tempatnya asik, yang jualan itu buka di teras-teras rumahnya. Kalau kesana rasanya main kerumah temen." Dino menyemburkan asap rokoknya ke udara, sambil kembali mengingat-ingat kenangan yang ia buat bersama Fara di sana.

"Hayulah mau cabs ke sana nih? Keknya asik juga tuh tempat. Sekalian cuci mata." Ucap Mahesa dengan antusias.

"Sa, bisa serius nggak sih?" cibir Sandy.

"Lah ngapa dah?, serius ini gue, dua rius malah."

"Fara suka tempat-tempat kayak gitu. Yang bikin enaknya lagi tuh tempat buka sampai jam tiga pagi. Gue pernah di sana sampai bener-bener tutup, nemenin Fara yang lagi capek banget sama kerjaan, nyeloteh sana sini soal Mamanya yang nggak bosen-bosen nyuruh dia buat buru-buru nikah."

Mahesa dan Sandy diam. Mereka berdua seolah membiarkan Dino menyatukan kembali kepingan-kepingan memori. Berharap titik terang segera terlihat. Saat ini memang Dino sangat sibuk dengan pekerjaannya, namun setiap akhir pekan, pemuda itu selalu menyempatkan diri untuk mencari Fara. Beruntungnya, jika sempat entah Mahesa atau Sandy dengan senang hati menemaninya sebagai bentuk dukungan seorang sahabat.

"Masih sore nih, baru jam sembilan. Mau coba ke sana Din?" tawar Sandy.

"Lo pada mau? besok kita kerja loh." sahut Dino.

"Hallah... pake nanya begitu lo. Nggak sadar ya lo, kita ini kan jelmaan kalong, kalau udah malem malah makin produktif." celetuk Mahesa, ia meneguk habis kopi hitamnya. Dan beranjak dari gazebo. "Nanti gue yang nanya deh ke yang punya warung makan. Siapa tahu besok-besok kalau gue kesitu bisa dapet diskon." Pria jangkung itu mengambil kunci mobil Dino tiba-tiba, membuat dua orang temannya yang reflek bergegas mengekori.

Dino meletakan telapak tangan di tengkuknya, pandanganya tidak lepas dari luar jendela mobilnya yang kini di kemudikan oleh Mahesa. Sementara Sandy duduk di bangku penumpang belakang, sesekali mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari radio. 

"Kalau rumah Bandung gimana Din? Lo udah coba cari sendiri ke sana?" tanya Sandy.

Dan seperti biasa, Mahesa bertingkah seolah-olah dia adalah juru bicara Dino. "Pake nannya lo, kan lo tau sendiri Sobri ini nggak akur sama Mamanya Fara. Tempat pertama yang di cari ya Bandung, tapi nggak usah pake acara ke sana, nggak lama kita udah pastiin kalau Fara nggak ada. "

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang