10. Gazebo

220 60 3
                                    

Ardino duduk bersila tanpa alas di teras rumah Fara. Kedua tanganya sibuk berkali-kali mecoba menghubungi kekasihnya yang tak kunjung nampak. Ini sudah hampir tengah malam, Dino sudah tidak tahu lagi harus mencari Fara kemana. Saat ia pulang dari kampus tadi sore, ia sengaja mengambil jalan memutar agar melewati kantor Fara. Namun nihil, ia tidak mendapati mobil Fara di parkiran. Sebelumnya setelah insiden "banting pintu" itu, Dino buru-buru menghampiri Fara, kemudian langkahnya terhenti ketika ada Damar dan beberapa rekan kerja Fara di sana berkumpul. 

Sorotan lampu besar membuat mata Dino menyipit silau. Seketika kantuk dan lelahnya hilang. Dino lekas berdiri melihat Fara memarkirkan mobil di garasi rumah. Waktu menunjukkan sudah jam sebelas malam, Fara jelas melihat Dino menunggunya. Tanpa sapaan, tanpa tanya, Fara melenggang melewati Dino begitu saja, mengabaikan eksistensi Dino pada saat itu.

"Malem banget pulangnya dari mana Kak?" 

Fara mengeluarkan kunci rumah dari dalam tasnya. Ia kemudian menyalakan lampu di beberapa ruangan yang masih gelap. Tubuhnya terasa lengket dan gerah, setelah beberapa jam terakhir ia habiskan di sebuah coffe shop dekat rumahnya, melarikan diri dari Dino. Fara melempar asal blazer abu-abu yang ia pakai, menyisakan tanktop hitam bertali tipis dan rok mini berwarna senada di badannya.

"Kamu nggak angkat telepon, nggak bales chat, dicari kemana-mana nggak ada." ucap Dino yang masih mengekori Fara.

Fara berusaha tetap menahan jengkelnya. Membuka lemari pakaian, mencari-cari baju tidur yang sebenarnya jelas terlihat di paling atas tumpukan.

"Kak... Aku nggak ngerti kalau kamu diem aja gini."

"Lo begitu ya di luaran kalau nggak ada gue?!" Seru Fara. Ia membalikan badannya, menatap Dino dengan penuh amarah.

"Sini duduk dulu..."

Fara mengambil handuk yang ia letakan di sandaran kursi meja rias. "Gue capek, gue mau mandi, mau tidur!"

"Ya udah aku tunggu."

"Terserah lo...!!!"

Mendengar balasan ketus dari Fara, Dino beranjak dari tempat tidur, ia nampak mengeluarkan sarung tangan di saku jaketnya dan akan mengenakannya kembali. "Okelah... kalau kamu nggak mau ngomong sama aku, percuma juga aku di sini. Aku sih nggak bisa sebenernya pulang dengan pikiran yang masih semrawut kayak gini, beda sama kamu Kak. Nggak penting emang sih akunya aja yang berlebihan."

Dino melangkahkan kaki ke arah pintu depan. Dan entah kenapa tiba-tiba rasa jengkel Fara menjadi berlipat ganda melihat kekasihnya yang berniat pergi kala itu. Kesal mengingat kejadian di kampus dan perasaan ingin agar Dino tetap di sini bertarung di dadanya membuat otaknya tidak dapat berpikir dengan benar sebelum berucap.

"JANGAN PERGI...!!!"

Lantas Dino memutar badannya, buru-buru meraih pergelangan tangan Fara. Membawanya duduk bersama seperti yang ia kehendaki dari semula. "Duduk dulu, ini semua nggak seperti yang kamu pikirin."

"Hah?? menurut lo?? gue ngeliat cowok gue meluk mantannya siang bolong depan mata kepala gue sendiri. Lo ngarepin gue mikir apa?!" oceh Fara sambil menepis genggaman tangan Dino.

"Iya... iya... aku tahu aku salah Kak... aku minta maaf. Tapi kamu jangan lari gini dong, nggak bakalan selesai kalau kamu nggak mau dengerin penjelasan aku."

"Lo sama dia ada urusan apa lagi sih?!"

"Dia lagi bener-bener kalut karena denger ayahnya mau nikah lagi, kamu tahu kan sampai sekarang aja dia belum nerima kenyataan kalau ibunya udah meninggal?" 

Fara membuang pandangannya. Ia sudah muak dengan ulah Carissa yang selalu saja lari ke Dino jika ada masalah, apapun itu. "Tapi enggak pake peluk-peluk segala!, emang lo bakalan maklumin kalau gue ngelakuin hal yang sama kayak lo tadi hah!?."

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang