35. Three Minutes

144 28 2
                                    

Suara pintu bagasi mobil yang ditutup terdengar berdebum hingga dapur. Memecah telinga Fara yang saat itu sedang menata berbagai macam kue di atas meja makan. Sedikit rasa takut Fara rasakan jika ia mengingat kejadian semalam. Meski raut wajah Nathan tidak menunjukan perbedaan berarti, namun ia merasa sangat bersalah dan sudah seharusnya tak memperlakukan Nathan dengan buruk.

Fara sudah berani membuka diri, namun perilakunya tak sama dengan kata-katanya yang ia ujarkan pada Nathan. Sesungguhnya ia pun tak menghendaki perasaan ini terus menerus menguasainya. Karena ia sudah cukup tersiksa dengan kisah yang sudah seharusnya ia tak tempatkan lagi dalam hatinya.

Nathan kembali dengan dua kantung kresek berwarna putih terakhir. Isinya oleh-oleh dari Bandung yang akan ia bawa esok ke kantor untuk tim dan staffnya. Ia kemudian menilik satu-satu kantung yang sudah Fara jejer dengan rapi.

"Udah kamu itung lagi Ra? pas kan?" ucapnya sambil tersengal-sengal.

"Udah kok, yang pake paper bag sendiri ini buat Bos kamu ya." Sahut Fara.

Sepi dan sunyi, rumah Nathan selalu begitu. Sejak Mamanya pindah ke rumah Ayah sambungnya, Nathan hidup bagai pemuda perantauan. Makan serba beli, kulkas yang hanya berisi air mineral, serta baju pun harus selalu dilaundry. Untuk sekedar bebenah rumah ia harus menunggu waktu liburnya terlebih dahulu. Itupun kalau dia tidak memutuskan untuk bermalas-malasan seharian.

Mamanya sibuk membantu Carissa mengurus toko kue, jadi tidak bisa datang sering-sering. Yang datang biasanya hanya kurir pengantar lauk dan kue yang sengaja di kirimkan Mamanya agar anak laki-lakinya itu tak selalu berteman dengan makanan cepat saji.

Fara mematung, sejak tadi ia mengamati Nathan yang sibuk membongkar isi mobilnya yang jika dilihat lagi sudah seperti rumah keong. Semuanya ada di dalam sana, dari baju kotor, baju bersih, sepatu, sandal hingga kotak bekas makanan yang bertumpuk terlihat entah sejak kapan ada di sana. Semuanya kini sudah berpindah di dapur, karena Nathan memang berencana untuk membersihkannya.

"Jangan suka nimbun barang kotor di bagasi dong Mas..." ucap Fara sambil memindahkan semua kotak makanan ke wastafel.

Nathan menggaruk kepalanya, ia terkekeh malu. "Nggak sempet Ra, aku juga kepengennya bersih rapi. Nggak mobil, nggak rumah. Tapi kamu kan paham kerjaan aku gimana."

"OB kantor kamu kan bisa kalau libur suruh kesini, minta tolong beberes rumah. Kasian banget rumah ini kayak nggak di urusin."

"Iya, iya... nanti aku minta tolong dia ya..."

Sambil mengobrol panjang lebar, tidak terasa keduanya sudah membuat suasana rumah tampak hidup kembali. Tidak ada lagi tempat makan kotor, debu-debu di atas meja sudah sirna, serta jemuran baju di halaman samping rumah terlihat penuh karena Fara memutuskan untuk mencuci dua kantung besar baju kotor yang Nathan biarkan teronggok begitu saja. Nathan berulang kali melarang Fara, namun Fara bersikeras. Ia bilang tidak betah melihat sesuatu yang berantakan.

Lelah pasti iya, karena mereka baru selesai melakukan perjalanan panjang. Namun Fara beralasan agar sekalian capek, daripada ia kesal sendiri terus-terusan mengingatkan Nathan untuk lebih memperhatikan rumahnya itu.

Fara membawa dua gelas kopi dan meletakannya di meja. TV berukuran besar itu menyala menayangkan saluran khusus film box office. Nathan kemudian meletakan bantal yang sejak tadi ia dekap di sampingnya, dan menyambar kopi buatan Fara.

"Yang semalem aku minta maaf Mas, nggak seharusnya aku bersikap kayak gitu sama kamu." Fara berucap gemetar, dia bahkan tak mampu untuk sekedar memandang wajah Nathan.

"Ini udah beda hari Ra, lupain aja ya. Sayang banget kalau waktu kita berdua kebuang sia-sia cuma bahas soal ginian."

"Tapi perasaan aku nggak enak sendiri, aku ngerasa jahat banget sama kamu..."

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang