36. End Game

153 29 1
                                    


Sebagai salah satu staff kreatif perusahaan periklanan besar di Ibu Kota, membuat Dino tidak jarang harus bekerja di lapangan untuk bertemu dengan beberapa orang dari pihak Event Organizer. Setelah menyelesaikan urusannya di bengkel, kini ia sudah berada di tengah-tengah aula hotel mewah yang dalam dua hari lagi akan di adakan event yang cukup besar. Perwujudan pria bertubuh jangkung dengan warna kulit sawo matang yang sejak tadi Dino cari-cari itu tidak sulit untuk ditemukan. Mahesa, ia terlihat berdiri di samping panggung sambil memandangi layar tablet yang ia pegang dengan serius.

"Gimana udah beres?" Dino menepuk pundak Mahesa, matanya pun tak diam memandangi seluruh ruangan yang persiapannya sudah mencapai delapan puluh persen.

"Udah sih kayaknya. Coba deh lo cek lagi sana. Gue pegel Sob dari pagi ngiterin nih hotel, tuh list nya sambil lo cek-cek in lagi."

Kemudian Dino nampak menghampiri salah satu staff EO dan mendiskusikan segala hal yang terpampang di layar tablet yang ia bawa. Memastikan agar keinginan client sempurna satu suara dan sampai dengan baik ke pihak EO. Biasanya ia mengerjakan hal di lapangan seperti ini di dampingi dengan petinggi kantornya, namun karena hari ini semua petinggi sedang mengadakan pertemuan wilayah, hasilnya ia dan Mahesa terpaksa terjun bersama ke lokasi event secara langsung.

"Baliknya gue nebeng Sob..." celetuk Mahesa. Ia meneguk sebotol minuman bersoda, dan menyandarkan punggungnya kemudian di kursi.

"Lah emang kesini tadi gimana?"

Mahesa terkekeh, "Nebeng si Kay, kan gue tahu lo bawa mobil bokap. Jadi gue sengajain biar pulangnya di sopirin sama lo."

Dino dibuat mendecak mendengarnya. Lantas mulutnya melontarkan kalimat yang sedari tadi membuatnya tak kalah pening. "Tadi gue ketemu Fara."

"Fara...? Hallah... bosen gue. Tiap hari juga lo liat dia, lo sengaja pulang kerja ambil jalan muter cuma buat ngeliat tuh cewek. Heh... gue bilangin ya, lo kaga takut nanti di laporin kalau lo nguntit dia? abis kelakuan lo udah kayak orang sinting begitu. Mana kaga sembuh-sembuh!."

"Gue beneran ketemu, maksud gue... gue beneran ngobrol sama dia tadi di bengkel." jelas Dino kesal.

Mahesa kemudian merapatkan badannya ke Dino seketika. "Serius Sob? terus gimana? ada cincin nggak di jari manisnya?"

"Gue lihat sih nggak ada, apa mungkin nggak di pake kali." sahut Dino lemas.

"Jangan macem-macem lo ya, itu calon bini orang loh. Atau mungkin dia udah nikah, cuma kita orang pada nggak tahu aja."

"Gue nggak ngapa-ngapain. Gue cuma minta maaf. Karena dulu gue ninggalin dia gitu aja dengan cara yang bener-bener pengecut. Dan ya... sesuai perkiraan gue, semuanya udah terlambat. Fara udah terlajur benci sama gue."

"Jangan salah... dua kata kayak 'apa kabar' aja bisa bikin mantan runtuh tembok pertahanannya Sob. Tapi kalau Fara malah keliatan benci sama lo ya baguslah... orang kayak lo emang pantes di gituin. Dulu sering gue bilangin kan, jangan coba-coba ngegantungin perasaan cewek. Sekarang karma kan lo, kejebak sama perasaan yang sampai sekarang masih ngegantung? alias gagal move on."

Sesaat Dino kembali mengingat masa-masa di mana dirinya begitu tertekan. Ia di ambang dua pilihan antara mempertahankan atau merelakan Fara. Dulu nyalinya tak cukup, dulu dirinya sungguh pengecut, dan sekarang penyesalan selalu mengikutinya tanpa jeda. Ia selalu tenggelam dalam pemikirannya. Kalau saja ia dulu lebih berani, kalau saja dulu ia bisa menekan dirinya lebih keras lagi. Fara pasti masih bersamanya hingga kini.

Tetapi kenyataannya, untuk bertemu dengannya lagi saja Fara terlihat tidak sudi. Dan rasanya jauh lebih menyakitkan saat melihat Fara mengabaikannya dari pada harus merelakannya dengan pria lain.

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang