41. Last Piece

155 29 0
                                    

Tanpa menunggu lama, Nathan segera meninggalkan meja kerjanya begitu notifikasi pesan memasuki ponselnya. Pesan yang begitu ia tunggu-tunggu beberapa hari belakangan. Yang membuatnya frustasi karena menjadikannya tak bisa berbuat banyak. Sebab Nathan tahu, Fara akan semakin menghindarinya jika terus didesak membahas kejadian di toko kue beberapa waktu lalu.

Saat seluruh tim dan karyawan di kantornya sedang bersantai menyantap makan siang, Nathan memilih bergegas pergi setelah mengetahui Fara berada di rumah. Setumpuk pekerjaan penghujung bulan, serta perut keroncongan yang hanya sempat terisi kopi dan sepotong roti pun ia abaikan. Nathan tidak mau menunda lebih lama, ia harus segera menemui Fara. Sebelum gadis itu berubah pikiran dan kemudian kembali mengindarinya lagi dan lagi.

Nathan mengetuk pintu, gestur tubuhnya sangat terlihat gugup. Seolah seluruh badannya gemetar bergerak dengan sendirinya saat menunggu pintu itu di bukakan. Tak lama kemudian Fara muncul dengan setelan rumahan dan wajah polos tanpa riasan. Menyambutnya dengan senyum tipis dan mata berbinar. Fara seketika terkejut karena Nathan merangsek memeluknya tanpa aba-aba. Ia mendapati cara Nathan memeluknya kini berbeda, sebab Fara merasakan dekapan yang begitu kencang, tak seperti biasanya.

"Kamu dari mana aja Ra?" tanya Nathan tanpa mengijinkan Fara lepas darinya.

"Nggak kemana-mana Mas, aku di sini kok."

Dengan susah payah Fara berjinjit-jinjit mengimbangi tubuh tinggi pria itu. Mengusap punggung lebar yang sudah mulai akrab dengannya. Setelah melewati banyak pemikiran A hingga Z, Fara mau tidak mau harus segera membereskan kepingan terakhir yang menjadi tanggung jawabnya. Ia tahu, ucapannya nanti bisa saja membuat retakan baru di hati Nathan. Namun pikirnya kadang kala harus ada yang retak atau mungkin pecah sekalian agar bisa segera digantikan dengan yang baru. Karena bekasnya akan selalu ada meskipun sudah ditutupi dengan rapi sedemikian rupa.

"Mas Nathan makasih, udah sabar banget ngadepin aku."

"Sabar gimana? aku nggak ngerasa nyoba bersabar Ra, aku emang begini ke kamu."

Fara kemudian membawa Nathan untuk duduk bersama. Tanpa melepaskan kedua tangan yang saling mengggengam, "Kita nggak bisa kayak gini terus Mas... kita harus ikhlas. Nggak semua yang kita pengen itu selalu Tuhan kasih."

Nathan buru-buru menyelak, "Fara, aku nggak mau denger." Sambil menggelengkan kepalanya, ia membuang tatapanya ke sembarang sudut rumah. Ia tidak mampu menatap Fara dan mendengar maksudnya lebih panjang panjang lagi. Karena sepertinya ini terlihat buruk baginya.

"Kamu beneran mau balik lagi sama dia?" Kalimat Nathan terdengar getir saat itu.

"Kenapa bahas dia terus sih...? udah basi. Aku udah nggak kepikiran sama sekali buat itu. Bahkan setelah ini aku nggak tahu apa aku masih bisa mandang pria lain. Karena apa? karena bagi aku kalian itu sempurna. Dan seharusnya bukan aku yang berada di tengah-tengah kekacauan ini."

"Fara jangan begini Sayang..."

Sayang...

Sebuah kata yang sama, yang ia dengar dari mulut tiga pria yang tak pernah berhenti melindunginya. Yang pada awalnya kata itu terdengar manis, tapi entah kenapa sekarang semakin ia sering mendengarnya, malah serasa semakin mengiris hatinya.

"Tetep sama aku ya, aku nggak apa-apa kalau kamu belum bisa terima aku sepenuhnya. Kamu mau aku gimana Ra? Apa aku terlalu ngekang kamu? terlalu banyak nuntut? bilang aja, aku harus apa?."

Fara mengerjapkan matanya, ia merasakan jari-jari tangannya semakin kencang berada dalam genggaman Nathan yang lekat memandanginya.

"Kamu udah ngelakuin semuanya Mas, makanya udah saatnya ini semua selesai. Nggak bakalan ada ujungnya... kamu mikirin itu nggak sih? Emang kamu mau hidup sama perempuan kayak aku? yang nggak sembuh-sembuh dari luka masa lalu? Mas... bisa nggak sih kita kayak dulu aja?, biar aku nggak berat ngejalaninnya..."

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang