19. Thunder

181 41 9
                                    

Fara melambaikan tangannya ke arah Nathan yang baru saja membuka pintu showroom. Gagang telepon masih menempel di telinganya, wajahnya memamerkan senyum yang membuat hati Nathan menghangat saat itu juga. Maklum, sudah sekitar dua bulanan Nathan tidak menjalani ritual kegemarannya apalagi kalu bukan makan siang bersama Fara. Dengan sumringah, Nathan kemudian duduk di hadapan Fara sambil menujuk makanan yang ia bawa.

"Bentar Pak..." bisik Fara tanpa suara.

Nathan memperhatikan Fara yang sedang berbicara akrab dengan salah satu customernya. Jari-jari tangannya nampak menuliskan sesuatu yang penting di jurnal. Sesekali tertawa dan sesekali kembali serius menjelaskan selling point mobil yang ia jual. Seperti inilah memang biasanya Fara yang ia kenal, segala nada bicaranya ceria. Serta terampilnya dalam bekerja membuat Fara begitu sempurna di matanya. Baginya Fara seperti alkohol, yang sesaat bisa menghilangkan sederet penat permasalahan hidupnya. Namun jika efeknya menghilang, Nathan sadar bahwa semuanya hanya berlaku sementara. Fara bukanlah miliknya.

"Maaf Pak.. lama ya?."

"Nggak.. santai aja, ayok makan!, saya udah laper nih."

"Bento di restoran biasa itu kan pak?"

Nathan menjawab dengan anggukan. Fara beranjak sambil membawa botol minumnya, kemudian ia menuju ruang meeting di lantai dua.

"Jadi gimana, tangan kamu udah bener sembuh?"

"Udah dong, Bapak nggak liat saya udah bawa mobil sendiri ke Showroom?"

Melongok ke jendela besar di sampingnya, Nathan mendapati city car putih Fara di parkiran seperti biasa. "Oh iya, kok tadi di bawah saya nggak lihat ya?."

"Akhir tahun sibuk banget ya Pak?, anak-anak yang lain aja udah pusing tuh tiap hari dikeramasin Si Bos soal target."

Sambil mengaduk salad Nathan tertawa, "yaa begitulah, kamu udah tahu dong berarti kalau pagi-pagi saya ngapain ke tim saya...."

"Saya nggak bisa bayangin Pak Nathan kalau marah-marah gimana, pernah gebrak meja nghak Pak?, atau lempar brosur satu rim?. Soalnya Si Bos kalo udah naik pitam suka begitu tuh." Fara bertanya penasaran.

"Bos kamu gitu? beda style sama saya Ra, kalau saya sih lebih ke ingetin mereka tiap hari kalau kantor itu bukan yayasan sosial."

"Ih paraaaaahh..." sergah Fara.

"Loh iya dong, saya sama kayak Bos kamu Ra. Sama-sama dapet pressure tinggi juga dari Branch Manager. Masa iya saya musti diemin anak-anak yang nggak target, nggak dengerin arahan saya. Kalau mereka nggak mau dibina, ya saya musti binasakan." Nathan menjelaskan sambil menunjuk-nujuk sumpitnya ke udara.

"Ck...ck... Pak Nathan serem sih nggak ya. Cuma kata-katanya lumayan nyelekit hati." Fara meringis ngeri.

"Udahlah nggak usah bahas kerjaan, bosen. Bahas yang lain ajah."

Fara terkekeh melihat ekspresi Nathan yang memberengut. Ia paham sepertinya membahas pekerjaan di waktu makan siangnya ini membuat suasana menjadi tidak enak. Nathan memang terlihat lebih kurus dari biasanya. Beberapa waktu lalu melalui chat, Nathan berbagi cerita dengan Fara kalau belakangan ia selalu lembur di kantor. Tak jarang hampir tengah malam pekerjaannya baru selesai. Akhir tahun benar-benar menyita waktu dan tenaga. Namun Nathan harus menghadapinya jika tak mau liburan tahun barunya tidak tenang diteror oleh pekerjaan yang terbengkalai.

"Oh ya Ra, kalau sekarang kamu udah bisa bawa mobil sendiri, kemaren-kemaren di anterin siapa ke kantornya?"

"Sama Valen Pak, kebetulan rumahnya searah sama rumah saya" sahut Fara sambil asik mengunyah ekado yang selalu ia sisihkan disesi paling akhir setiap makan Bento.

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang