23. Illusion

211 37 1
                                    

Kembali mengingat ungkapan bahwa manusia hanya bisa berencana, kemudian Tuhan-lah selajutnya yang menentukan. Sudah banyak rencana yang disusun di kepala Fara untuk menghadapi pria pilihan Mamanya nanti. Seperti menunjukan sisi paling buruk kepribadiannya di depan si pria, mengingkari janji-janji temu berikutnya, atau yang paling extreem Fara sudah berniat untuk blak-blakan dengan si pria kalau ia sudah memiliki kekasih yang jelas tak bisa ia tinggalkan.

Namun realitanya pria itu adalah Jonathan. Yang mengenal Fara lebih lama daripada kekasihnya sendiri. Yang sudah sekian lama Fara ketahui bagaimana Nathan mencoba mengambil hatinya selama ini tanpa lelah. Barangkali jika Fara tak dimiliki Dino saat ini, ia tidak lekas menolak rencana perjodohan Mamanya. Kebaikan hati serta perhatian Nathan yang Fara terima menjadikan Nathan berada di posisi pria yang tak bisa disingkirkan begitu saja dalam kehidupannya. Persis seperti Damar.

"Kok bisa sih makan lahap begitu? seolah-olah pertemuan kemaren itu kayak nggak pernah ada."

Fara bersedekap memandangi Nathan yang makan dengan lahap. Sementara satu porsi mie goreng seafood dalam kotak makan berwarna ungu yang Nathan bawakan untuknya belum disentuh sama sekali. Fara kehilangan selera makannya. Namun tidak dengan Nathan, karena terlihat dari sebagian besar makanan yang sudah berpindah kedalam perutnya saat ini.

"Kenapa Ra? nggak suka makanannya? Sorry nggak beliin kamu Bento kayak biasanya. Nggak keburu, saya beli seketemunya aja di jalan tadi takut kamu keburu laper."

Baru kemudian Fara membuka kemasan makanan pemberian Nathan. Bukan karena ia benar-benar lapar. Tapi lebih karena menghargai jerih payah Nathan untuknya. Jam makan siang hari itu sudah lewat, tapi Fara tak merasa lapar karena dikalahkan oleh permasalahan dipikirannya bak benang kusut. Sesuap demi sesuap berlalu hingga hampir setengah porsi tak terasa Fara habiskan. Saat itu ia tersadar bahwa makanan di hadapannya berubah menjadi hambar. Padahal dari logo kemasannya, sudah jelas itu berasal dari dapur sebuah resto yang cukup terkenal.

"Kita harus omongin soal pertemuan kemaren Pak..."

"Apa yang mau di omongin Fara?" Nathan menjeda suapannya sebentar. Ia memandang Fara kemudian dengan lamat-lamat. "Udah jelas-jelas saya bukan tipe kamu, kamu udah punya pacar, yaa biarpun kata orang tua kita kamu itu calon istri saya, udah seharusnya saya nggak ngarepin apa-apa dari pertemuan kemaren. Iya kan?"

Tanpa merubah kebiasaan gaya bicaranya yang cengengesan, Nathan bertanya. Ia benar memilih tidak ambil pusing dan menjalani hari seperti biasanya tanpa berbedaan berarti. "Kalau kamu tanya saya nurutin mau orang tua apa nggak... saya jelas mau Ra buat nikah sama kamu. Tapi kamunya ini udah pasti nggak mau kan... hahaha." Nathan tertawa miris.

"Maaf Pak... saya cuman bingung harus gimana lagi ngomong sama Mama. Karena pasti nanti ujungnya kita jadi berantem kalau ngebahas masalah ini, dan saya paling nggak suka itu. Mama pasti bakalan ngediemin saya deh, ya kalau deket mah bisa di samperin. Lah ini kan dia di Bandung Pak..."

"Saya nggak akan nikah sama orang yang dipaksa buat suka sama saya. Dan saya juga nggak mau ngerusak hubungan kamu sama pacar kamu. Urusan kedua orang tua kita nanti gimana, pelan-pelan juga mereka bakalan tahu kalau semua ini bakalan percuma kalau melulu dipaksain. Jadi... udah. Stop ya, nggak usah diomongin lagi karena emang nggak ada yang perlu diomongin. Udah jelas endingnya gimana kan Ra?"

Dan perlahan, benang kusut di pikiran Fara kini mulai mengendur dan menemukan jalannya. Fara merasa lega setelah mendengar pernyataan Nathan. Setidaknya ia tak berjuang sendiri untuk menentang perjodohan ini. Meski sebenarnya Nathan tak benar-benar menentangnya, Fara cukup puas saat mengetahui Nathan memilih mengikuti kemana maunya.

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang