54. Relentlessly ⚠️🔞

562 25 0
                                    

"Lo berdua please udah jangan main kucing-kucingan lagi. Gue tau kalau sebenernya kalian tuh, masih belum selesai. Jadi Din... begitu nanti Fara pulang, ajak nikah!. Lo pasti ngira gue ngawur, tapi nggak ada alasan buat Fara nggak terima lamaran lo."

Setelah semua yang terjadi, Dino kaget dan hampir tidak percaya seorang Nathan bisa berbicara seenteng itu padanya. "Bang, gue aja nggak tahu dia mau pulang apa nggak. Lo enak banget ngomong begitu, Fara tuh udah terlanjur benci sama gue."

"Nggak... itu cuma cara konyolnya buat nutupin kalau sebenernya dia nggak bisa ngelupain lo. Gengsinya Fara gede banget. Masa lo yang udah jalan sama dia bertahun-tahun nggak paham juga sih?"

"Nggak pantes Bang, gue ini cuma orang ke tiga di antara lo sama Fara. Udah habis muka gue di hadapan nyokapnya dia. Masa iya gue langsung trabas begitu aja. Nggak lah... bakalan gue balikin ke lo kalau dia beneran mau pulang."

"Yang orang ke tiga tuh gue bego!. Lo ribet banget sumpah, pantesan ya Fara kesel banget sama lo. Gini sih sikap lo, kebanyakan mikir, udah mah parnoan, makan waktu lagi."

Nathan yang mulai geram saat itu menegapkan posisi duduknya. Mengabaikan suara musik dan hingar bingar pengunjung Cafe Lintang yang mulai memasuki tengah malam.

"Sekarang gue tanya. Lo ikhlas nggak kalau gue yang maju buat nikahin dia? Besok juga gue bisa Din, tapi gue minta ketemu sama lo begini biar lo aja yang bawa dia. Ya apa....?! Gue nggak mau punya bini yang hatinya sampai sekarang masih belum bisa ngelupain mantannya. Kalau gue maksain, sama aja saling nyiksa diri namanya."



Ingatan di kepala Nathan membawanya ke saat-saat di mana Fara tiba-tiba menghilang. Kalimat-kalimat yang ia utarakan pada Dino bukannya tanpa alasan, perlu keberanian dan keikhlasan tingkat tinggi. Karena begitu ia berucap, ia tidak mungkin lagi untuk menariknya kembali saat itu.

Kadang kala Nathan merasa menyesal telah menyerah pada Fara. Perasaannya hingga kini masih belum juga pudar. Tetapi ia sadar, jika ia memaksa Fara untuk tetap bersamanya, maka bukan kebahagiaan yang ia dapat. Melainkan hari-hari penuh kepalsuan, sebab kekasih yang ia peluk raganya tak dapat juga ia miliki hatinya secara utuh.

Kini tatapan kosongnya mengarah pada televisi yang menyala. Mengisap rokok yang entah sudah ke berapa batang, asbaknya hampir penuh. Kopinya sudah dingin, meja rendah itu berserakan cemilan dan sisa bungkus makanan pesan antar yang sudah tergeletak selama beberapa hari. Nathan melenguh pelan, saat ia menyadari bahwa perempuan yang masih ia ingini itu hanya dalam beberapa hitungan minggu ke dapan akan resmi jadi milik pria lain.

Tiba-tiba dadanya sesak, sekujur tubuhnya melemah. Kepalanya ia dongakan menatap langit-langit, mengingat kenangan-kenangan indah saat Fara masih berseliweran di dalam rumahnya. Saat Fara masih sering memeluknya, memberinya senyuman, memberinya harapan, serta memberinya nyawa.

Nathan rindu. Ia hampir mati.

Air matanya tumpah. Ia menangis tak bersuara. Pria berhati malaikat itu seolah kehilangan kekuatannya untuk menghadapi hari esok. Jika di hari-hari sebelumnya ia bisa menghadapinya, entah kenapa tidak untuk hari ini. Seolah hawa kelabu menyelimutinya, serta hati dan pikirannya terus menerus menariknya dalam dasar kesedihan yang menyakitkan.

Nathan ingin bangkit, ia ingin segera meninggalkan perasaan tak enak semacam ini. Tetapi ada di mana ia sendiri menikmati luka-luka yang Fara tinggalkan hingga kini. Ia masih beranggapan jika apapun itu, asal tentang Fara, baginya tidak apa-apa. Karena Nathan tahu ia yang memilih jalan hidupnya sendiri, maka dari itu ia membiarkan dirinya berjibaku menikmati patah hatinya hingga waktu yang nanti perlahan menyembuhkannya.

"Wah... luar biasa ya kelakuan lo Nat. Gue abadiin dulu deh, siapa tau besok-besok kepake. Bagus nih kayaknya kalau gue kirim ke Mama sama Ayah... HAHAHAHA...."

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang