53. Slow But Sure

181 29 0
                                    

"Udahlah... kita putus aja, lo cari deh sana calon bini yang mau nyari-nyari gedung sendiri. Nyari catering sendiri, milih baju sendiri. Capek! emangnya lo pikir tangan gue ini ada berapa?!"

Dino memijit pelipisnya berkali-kali. Tetapi rasa pening di kepalanya tidak juga hilang. Telinganya sejak tadi dihujani racauan Fara yang tidak berhenti meluapkan emosi padanya. Setelah dua minggu ia harus keluar kota lagi karena urusan pekerjaan, bukannya manis wajah Fara yang ia dapat, malah wajah galak dan hawa ngeri yang kini Dino hadapi.

Fara terlihat grasak-grusuk membereskan meja kerjanya. Mematikan monitor, membawa berkas, serta menukar sepatuhak tingginya dengan sandal yang lebih nyaman. Sedangkan Dino hanya bisa duduk memperhatikannya dari kursi yang berada tepat di depan meja Fara. Dino tidak tahu harus apa, sebab salah-salah ucap ia bisa di berondong kembali dengan keluh kesah Fara yang pada dasarnya memang benar dan tak terbantahkan.

"Maaf lah Yang... aku kan kerja buat kita juga nanti."

"HALLAH ALESAN KLASIK...! Lo ngomong begitu udah berapa kali Pak? Duh, pusing gue, bosen dengernya. Udah ah bodo, lo aja sana yang ngurusin. Tuh liat, stok mobil gue masih banyak" Fara menunjuk dinding pembatas kaca antara ruangannya dan area display, "sales pada ngapain sih kerjaanya ASTAGAA... pada banyak duit apa ya? sampe jualan dua-tiga unit aja udah ngerasa puas? Masih tanggal belasan loh ini." 

Memang benar orang bilang di luaran sana. Pasangan yang semakin dekat dengan hari pernikahan, akan semakin banyak diterpa perselisihan. Sepuluh bulan terhitung setelah Dino nekat melamar Fara, tidak jarang hari-harinya dibumbui dengan pertengkaran-pertengkaran kecil.

Dino kadang heran, masalahnya sebenarnya sepele, tetapi jadi melebar kemana-mana. Niatnya untuk menjemput Fara dari kantor pun jadi tertunda karena harus terlebih dahulu menunggu mood tunangannya itu membaik. Kalau sudah seperti ini, Dino tidak ada pilihan lain selain diam dan mendengarkan tanpa perlawanan.

"Ya udah yuk, katanya kamu mau jenguk customer kamu yang lahiran. Nanti keburu jam besuknya habis."

Fara melengos melempar tatapan menyeramkan. "Lo emang paling pinter kalau ngalihin topik ya Din."

Astaga... salah lagi gue. Nanti kalau nggak diingetin tambah murka tuh dia. Sabar...sabar...untung cinta.

"Emang lagi bahas topik apaan sih?"

Seorang pemuda yang lainnya secara tak terduga tiba-tiba muncul. Membuat Fara dan Dino berbarengan menatap sosoknya. Melenggang memasuki ruangan mengambil posisi duduk di sebelah Dino. Ia terlihat  meletakan sesuatu di atas meja. Membuat Fara sejenak berhenti dari aktifitas beberesnya sore itu.

"Apaan lagi sih Len? Perasaan semua hajatan anak-anak di tempat kerja gue yang lama udah gue datengin. Kali ini siapa lagi?"

Valen terkekeh, "Lupa lo Mbak, sisa satu. Bujangan idaman ibu-ibu sama adek-adek magang. Siapa lagi kalau bukan Mas Damar."

Dino ikut kaget, tidak kalah raut wajahnya tiba-tiba kaku. Sebelas dua belas dengan Fara sekarang, mengambil undangan bermotif ukiran Gebyok Jawa. Serta membukanya untuk mengetahui kapan dan di mana acara Damar akan berlangsung.

"Ngapa Din lo ngeliatin gue begitu? jangan bengong, giliran lo kapan?. Buruan itu... nanti keburu Mbak Fara kabur lagi loh." Valen menjentikan jarinya tepat di depan wajah Dino.

Dino mengerjap begitu Valent menegurnya sambil cekikikan. Lalu ia menyanggah, "nggak bakalan kemana-mana dia mah, kalau mau dia bisa aja ninggalin gue dari dulu. Buktinya sekarang liat aja, balik-balik lagi juga kan ke gue? Susah Len kalau udah jodoh mah." Ucapnya penuh percaya diri.

BRUKK....

Sebuah paper bag besar bermotif karakter Pinguin Pororo dengan kasar Fara serahkan. Bersamaan dengan balon-balon biru yang dihiasi pita menjuntai itu menutupi wajah Dino kini yang terlihat kewalahan.

IMPOSSIBILITY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang