3

73.9K 8.1K 331
                                    

Alvin berlari lalu mencengkeram cermin. Kini tampak sudah bentuk tubuhnya yang membuatnya terkejut.

Penampilannya sangat berbeda dengannya. Kini wajahnya dengan tegas, hidung mancung, bibir merah alami dan bola mata berwarna perak. Perpaduan itu membuatnya semakin mengeluarkan aura ketampanan pada dirinya.

Namun, yang membuatnya terkejut wajah didepannya sekarang bukan miliknya sama sekali. Jika matanya dulu setajam elang maka sekarang matanya cukup tajam walaupun agak galak yang menambah aura awet muda.

Alvin tertegun melihat bordiran nama yang berada di atas saku seragamnya. Ia mengucek matanya pelan tapi nama itu terlihat jelas.

"Sial! Ini nggak mungkin!" gumam Alvin dengan raut wajah bimbang.

Alvin segera berlari menuju meja belajar. Lalu segera membongkar buku-buku dengan raut wajah tidak percaya. Dibuku tertulis nama Ainsley Revanda Wikananda.

"Wikananda? Kenapa gue bisa masuk ke novel sialan itu?!" teriak Alvin dengan melempar buku itu ke atas kasur.

Alvin tertawa terbahak-bahak dengan menutup matanya. Ia berhenti tertawa dan mencoba untuk tenang.

"Monyet! Seharusnya gue itu udah meninggal!" umpat Alvin. Ia mencoba untuk tenang tapi tetap tidak bisa.

Alvin menggigit kukunya saking banyaknya tekanan yang dialaminya sekarang. Kemudian ia menghela nafas panjang akhirnya hanya bisa pasrah.

"Ini orang mati karena nggak sengaja lukai Sheren. Apa perlu gue bunuh aja kali, ya? Ini juga udah berjalan berapa bab?" gerutu Alvin dengan menggaruk tengkuknya.

Alvin mencoba berpikir tapi yang didapatkannya hanyalah kepikiran masalah mayatnya. Alhasil ia hanya membiarkan tanpa memperdulikan alur kedepannya.

"Mati ya mati! Gue udah pernah mati juga. Lebih penting isi energi dulu," gumam Alvin dengan memejamkan matanya perlahan. Tidak lama lelaki itu masuk kedalam alam mimpinya.

***

Alvin masih tidur dengan pulas bahkan untuk mendengar suara orang pun tidak mengganggunya. Ketukan pintu tidak membuatnya goyang untuk bangun dari tidurnya.

Tok! Tok! Tok!

Alvin mengucek matanya dengan pelan. Suara ketukan pintu yang berirama membuat tidurnya tambah pulas. Kini ia memeluk guling nya dengan erat bahkan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Ia sedikit kedinginan saat angin AC terkena wajahnya tapi ini adalah hal yang terenak diwaktu tidur.

Tok! Tok! Tok!

"Vanda! Bangun cepat! Ini sudah siang!"

Sekarang Alvin mulai terganggu dengan gedoran pintu juga teriakan dari sang mamah dari dunia ini. Ia mulai menutup kedua kupingnya sembari menggeram kesal.

"Vanda! Turun sekarang atau ATM kamu Papah bekukan!"

Alhasil mendengar kata ancaman Alvin bangun. Langkahnya sedikit gontai tapi senyuman terbit diwajahnya.

Tok! Tok! Tok!

"Hey, you wanna come in?" ucap Alvin yang hanya dapat terdengar hingga didepan pintu.

"Revanda, open the door right now!" perintah sang papah dari luar kamar.

Alvin terkesiap dan senyuman jahil yang diwajahnya turut menghilang. Kini tergantikan oleh raut wajah bingung sekaligus menyesal. Sekarang pria itu menyahutinya dengan bahasa Inggris sedangkan tadi hanyalah sebuah lirik lagu.

"Iya-iya! Sabar atuh! Ini lagi jalan keluar," dalih Alvin dengan cekikikan.

Namun, ada hal yang dilupakan olehnya. Sekarang dia berada dalam tubuh sang antagonis Vanda. Jadi hal pertama yang ia lakukan adalah membiasakan untuk menggunakan nama tokoh itu.

"Okay, sekarang nama gue Vanda. Alvin cuman kenangan dulu, masa lalu biarlah masa lalu. Loh, jadi nyanyi kan gue," gumam Vanda dengan cengengesan.

Akhirnya Vanda berjalan keluar dari kamar dengan menahan tawanya bisa dibilang dirinya memiliki humor yang rendah. Ia kini menatap kedua orang tuanya dengan wajah polos tidak bersalah. Hal itu membuat kedua orang tuanya gemas ingin menjitak putranya.

"Vanda, jangan lupa sore kamu harus belajar bisnis sama asisten Papah," ucap papah dengan muka datar.

Vanda mengangkat alisnya dan hanya diam membuat kedua orang tuanya sedikit khawatir. Setelah itu Vanda berteriak ricuh membuat kedua orang tuanya terkejut.

"Vanda! Jangan teriak-teriak kamu kira rumah kita itu mall!" tegur mamah dengan berkacak pinggang.

Vanda mengerutkan keningnya dengan berkacak pinggang seolah-olah meniru gaya sang mamah. Hal itu membuat sang mamah hanya bisa bersabar melihat tingkah putranya tiap hari makin menjengkelkan.

"Putra Mamah yang ganteng. Sekarang Mamah tanya lagi kenapa teriak-teriak?" tanya mamah dengan mengelus dadanya.

"Vanda cuman kesenangan aja karena bisa belajar bisnis," jawab Vanda dengan cengengesan.

Sang papah menatapnya dengan penuh tanda tanya sedangkan sang mamah hanya sedikit terkejut. Ia ditatap seperti itu membuatnya sedikit takut dibuatnya.

"Loh, bukannya kamu tidak suka belajar bisnis. Katanya kamu itu mau jadi dokter," sahut sang papah dengan mengangkat alisnya.

Vanda tersedak air ludahnya sendiri. Lalu melotot tajam jangan bilang dia akan masuk jurusan IPA didunia ini. Ia akan mati berdiri jika dirinya masuk IPA.

Dia tidak pernah mengetahui pemilik tubuhnya ini berasal dari jurusan apa. Vanda hanya pernah muncul dibeberapa konflik bab.

"Lalu Vanda masuk jurusan apa?" tanya Vanda dengan tersenyum canggung.

"Papah masukin kamu jurusan IPS karena hanya kamu yang bisa terusin bisnis," jawab papah dengan tersenyum tipis.

Vanda mengangguk pelan setidaknya ia bersyukur pemilik tubuhnya ini jurusan IPS tidak seperti dirinya dulu masuk IPA. Awalnya dirinya masuk IPA karena tersulut emosi dari omongan tetangga. Mereka membuat dirinya seolah-olah tidak bisa melakukan apapun, tapi itu membuatnya menyesal karena tidak berpikir jernih dalam menentukan pilihan.

Vanda hanya tertawa kecil. Kenapa keinginan mereka sangat bertolak belakangan. Jika Vanda ingin jadi dokter maka dirinya ingin menjadi pembisnis sukses.

Pemilik tubuhnya ini ternyata bukan bodoh karena bakatnya lebih menonjol di jurusan IPA pantas saja dikamar nya banyak rumus. Tapi sayangnya kedua orangtuanya tidak mendukung impiannya. Kini ia cukup bersyukur memiliki orang tua yang selalu mendukung impiannya, ia jadi rindu keluarganya.

"Hmm, Vanda nanti sore ikut belajar bisnis. Tapi untuk sekarang apa Vanda boleh jalan-jalan?" tanya Vanda dengan tersenyum tipis.

Setelah mendapat izin kepada kedua orangtuanya ia menuju kamarnya. Ia menggunakan kaos putih, celana cargo hitam, jaket bomber hitam dan sepatu sneaker putih. Setelah itu baru pergi meninggalkan rumahnya.

***

Saat dijalan ia hanya bisa celingak-celinguk dengan mulut terbuka. Ia hanya takjub dengan dunia novel walaupun keluarga Wikananda kaya raya tapi dia tidak menyangka ini lebih diluar ekspektasinya.

Vanda menatap dompetnya yang penuh berbagai kartu bahkan ada beberapa black card. Ia meringis kecil jika keluarga Wikananda berada di dunianya mungkin bisa dibilang keluarga terkaya sedunia.

"Anjir! Kalau ini mah gue akan bahagia terus. Apa gue harus shoping, ya? Eh, nggak jadi deh nanti dikira babu," seru Vanda dengan senyam-senyum.

"Apa perlu gue ke cafe aja kali, ya? Baik, kita pergi Vanda!" lanjut Vanda dengan suara keras tanpa memperdulikan tatapan aneh dari orang lain.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Nasib yang tertukar kali Vanda 😂
Lanjut!

Eternal Love Of Dream [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang