24

39.9K 5.1K 251
                                    

"Biasa aja," jawab Vanda dengan mengangkat bahunya.

Febby hanya tersenyum tipis. Matanya menatap keluar jendela kantin yang mengeluarkan udara segar. Tatapannya seolah kosong juga sedih disaat bersamaan.

Vanda melihat itu seketika menjadi paham. Gadis itu terlihat menyimpan sebuah masalah yang besar sehingga emosi pun tidak dapat dikeluarkan.

"Apa lo butuh tempat sandaran? Gue bisa melakukannya sebagaimana sahabat sebenarnya," ucap Vanda dengan tersenyum tipis.

"Lo lebih baik dan penyabar daripada para protagonis itu," racau Febby dengan menutup matanya.

"Maksud Lo apa?" tanya Vanda dengan raut wajah bingung.

Febby membuka matanya perlahan. Kemudian menatap dirinya dengan tersenyum sendu. Semua emosi yang ditahannya selama ini meluap. Tetesan air mata jatuh mengalir di pipinya.

"Seorang penjahat yang berakhir tragis malah mendengarkan curhatan gue. Protagonis wanita malah acuh tak acuh kepada gue," lirih Febby dengan menundukkan kepalanya.

Vanda hanya membiarkan gadis itu mengeluarkan benaknya yang selama ini disembunyikannya. Ia menatap gadis itu walaupun sedikit ragu dan terkejut dengan pembicaraannya.

"Yang dilihat jahat nggak tentu benar-benar jahat. Lalu yang dilihat baik nggak tentu selamanya baik. Cover nggak tentu ngelihatin hal sebenarnya," ucap Vanda dengan tersenyum tipis.

Febby mengangkat wajahnya lalu mengelap air matanya. Ia menatap dirinya dengan tatapan misterius.

"Gue menciptakan sosok antagonis yang sempurna, tapi menciptakan sosok protagonis yang gagal," ucap Febby dengan tersenyum tipis.

Vanda mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti apapun yang dimaksud oleh gadis itu. Namun, jika disimpulkan gadis itu juga mengetahui asal usul dunia novel ini.

"Ternyata nggak hanya didunia asli gue gagal. Didunia ini pun gue gagal buat karakter yang baik," ungkap Febby dengan tertawa miris.

"Didunia dulu gue seorang anak dari keluarga kaya. Bonyok selalu menganggap gue sebagai anak bodoh yang nggak bisa membanggakan mereka. Mereka juga selalu membandingkan dengan kakak gue yang jenius itu," lanjut Febby dengan menundukkan kepalanya.

Vanda yang mendengar itu seketika menjadi ikut bersedih. Ia dapat memahami apa yang dirasakan gadis itu. Sekarang dirinya juga mengalami hal yang sama. Ia memiliki keluarga yang selalu membandingkannya dengan sepupunya.

Vanda mengelus-elus punggung gadis itu. Ia hanya bisa melakukan hal itu untuk membuat Febby sedikit tenang.

"Hari demi hari yang hanya bisa gue lakukan hanya menumpahkan emosi dalam bentuk tulisan di website online. Lalu cerita gue terbit menjadi novel dan hal itu hari yang membahagiakan," ucap Febby dengan tersenyum tipis.

"Namun, semua nggak semudah itu bonyok mengetahuinya. Mereka merobek hasil karya dihadapan gue dan minta berhenti melakukan hal yang bodoh. Mereka ingin gue menjadi dokter dan terjadi perkelahian kecil. Lalu akhirnya papa dorong hingga kepala gue terkena dinding. Gue merasa sakit yang amat kuat tapi itu membahagiakan karena akhirnya bisa hidup dengan tenang," lanjut Febby dengan cengengesan tapi air matanya masih mengucur.

Vanda tersenyum tipis dengan memberikan selembar tisu. Ia menunggu gadis itu sedikit tenang.

"Gue nggak nyangka bisa ketemu penulis novel You Are My Light yang bikin emosi itu. Tenang aja semua orang punya bakat dan yang nentuin cita-cita itu diri sendiri. Selamat karena lo bisa keluar dari masa kelam," ungkap Vanda dengan cengengesan.

Febby yang mendengar seketika menjadi terkejut. Vanda hanya terkekeh kecil karena mungkin tidak masuk akal untuk bertemu di dunia ini.

"Bagaimana lo tau novel ini? Lo itu bukannya hanya karakter novel gue?" cecar Febby dengan mengerutkan keningnya.

Vanda cengengesan lalu mendekati gadis itu dengan berbisik. "Karena kita berasal dari dunia yang sama. Bedanya gue memainkan peran karakter Vanda."

Febby menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mungkin gadis itu masih tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

"Jangan heran gitu lo masuk kesini itu juga nggak masuk akal," timpal Vanda dengan mengangkat bahunya.

"Nggak nyangka, anjir! Akhirnya gue punya teman disini!" seru Febby dengan cengengesan.

"Ini pesanan kalian."

"Thanks, Bi!" seru Vanda dengan tersenyum lebar.

Vanda segera menyantap makanannya dengan antusias. Febby yang melihat hanya tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki itu.

"Lo laper banget atau gimana?" tanya Febby dengan mengerutkan keningnya.

"Gue laper banget! Dari malam sama pagi nggak makan!" seru Vanda dengan menyantap makanannya.

Febby mengangkat alisnya. "Gimana bisa?"

Vanda menghela nafas panjang. Lalu menghentikan acara makannya. "Sama seperti keadaan lo dulu. Keluarga yang sekarang cinta reputasi dan membandingkan gue sama Anta."

"Lo yang sabar, kalau mau gue bisa bantu Lo keluar dari keluarga bejat itu," ucap Febby dengan mengepalkan tangannya.

"Nggak perlu kita ini beda kelamin. Nggak bagus untuk harga diri lo nanti," sahut Vanda dengan tersenyum tipis.

Febby menghela nafas. "Gue nggak nyangka karena udah nyiksa Vanda yang nasibnya sama kayak gue."

"Nggak masalah ini udah takdir," gurau Vanda dengan cengengesan.

***

Kini mereka sudah berada didalam kelas. Ia menatap teman sekelasnya dengan terkekeh kecil. Setidaknya ia memiliki teman sekelas absurd yang bisa menghiburnya.

Vanda menatap kearah Febby yang tampak tertidur pulas. Gadis itu tampak kelelahan untuk mengejar kesenangan bahkan melupakan kesehatan sendiri.

Vanda menghela nafas panjang lalu mengambil jaket dengan logo Black Devil. Setidaknya gadis itu bisa menjadi sahabatnya untuk di dunia ini.

Ia sedikit terpikir kata-kata Febby yang menyebutkan jika para protagonis itu jahat. Apa mungkin mereka belum mengeluarkan taringnya?

Vanda hanya bisa memastikan kenyataan itu memang benar nyatanya. Namun, ia belum mengetahui apakah ini masih diawal atau sudah dipuncak terakhir.

"Nasib gue begini amat," gumam Vanda dengan menghela nafas.

Setelah itu ia hanya terus berada didalam kelas tanpa keluar kecuali pagi tadi untuk makan. Ia hanya tidak ingin bertemu protagonis pria itu.

Setelah bel pulang berbunyi ia segera berlari pergi menuju parkiran. Ia segera menancap gas untuk segera sampai ke rumahnya.

Didepan rumahnya ia melihat banyak motor. Ia menggeram kesal entah kenapa nasibnya selalu sial. Disaat seperti ini kenapa dirinya harus dipertemukan dengan orang itu dirumahnya.

"Loh, Tuan muda kenapa mobilnya didorong?"

"Diam, Pak. Mobil saya tidak bermasalah," jawab Vanda dengan meletakkan jarinya didepan mulutnya.

"Apa Bapak punya tali?" lanjut Vanda dengan muka serius.

"Ada, Tuan muda. Tunggu saya ambilkan."

Vanda tersenyum lebar. Ia kembali mendorong mobilnya dengan sekuat tenaga dibantu oleh satpam rumahnya. Setelah itu ia tidak lupa berterima kasih kepada satpam rumahnya.

Vanda menyeringai kecil. Ia segera melemparkan tali yang sudah diikat simpul ke tunggul balkonnya. Setelah itu ia segera menaiki dengan cara menumpu tubuhnya didinding hingga sampai balkon kamarnya.

"Akhirnya bisa ke kamar tanpa ketemu tuh cecunguk," ucap Vanda dengan tersenyum lebar.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Febby ternyata penulis novel 😬
Lanjut!

Eternal Love Of Dream [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang