45 - Kabar Buruk

22 10 0
                                    

Biola menatap jalanan lewat jendela kaca mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biola menatap jalanan lewat jendela kaca mobil. Tangannya yang bergetar itu terus terangkat menghapus air mata yang tak hentinya mengalir di pipi merahnya.

Setelah mendapat kabar pahit lewat telepon tadi, Biola memutuskan untuk kabur dari perlombaan dengan dalih izin mengambil alat lukis yang tertinggal kepada panitia. Beruntung panitia mempercayai alasan belakanya itu. Padahal, Biola pergi meninggalkan acara pentingnya itu.

Dengan menggunakan taksi, Biola nekat pulang menuju rumahnya yang berlokasi di Jakarta. Pikirannya saat ini sangat kacau, hatinya pun ikut gelisah disertai rasa takut dan sedih yang seketika menyerang secara bersamaan. Bahkan, jika kalian tahu, ia tidak memberitahu Bu Hani bahwa ia sudah dalam perjalanan pulang ke Jakarta.

Biola benar-benar tak sempat untuk sekadar berbicara pada orang. Kabar buruk yang ia dapati benar-benar membuat sekujur tubuh Biola seketika melemas.

"Mama," lirih Biola meremas kemeja yang digunakannya. Lagi dan lagi, air matanya terjatuh membasahi pipi pucatnya.

Ya, kabar pahit itu berasal dari sang mama. Biola dikabarkan oleh pihak rumah sakit bahwa Mauren mengalami kecelakaan bersama seorang gadis seumurannya ketika tengah melintasi jembatan gantung yang ia yakini adalah Yola.

"Pak! Bisa cepetan nggak?!" murka Biola pada supir taksi.

Sang supir melihat Biola lewat kaca spion. Dia berdeham sesaat. "Maaf, Mbak. Jalanan lagi macet, saya nggak bisa ngebut."

Biola menatap keadaan luar lalu menarik rambutnya frustasi. Sudah dua jam ia berada di dalam taksi itu. Mengapa jalanan harus ramai? Mengapa semesta seakan ingin membuat rasa khawatirnya terus bergentayangan?

"Argh!" Biola menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar seiring mobil yang dinaikinya maju secara perlahan.

Sang supir taksi sedari tadi terus memperhatikan Biola. Dia berpikir bahwa gadis itu tengah dilanda masalah berat. Helaan nafas panjang juga terdengar. Ia iba dengan penumpangnya kali ini.

"Mbak?" panggil supir taksi.

Biola jelas mendengar panggilan dari pria yang duduk di kursi pengemudi. Namun ia sama sekali tak berniat untuk menjawabnya. Rasanya sedih di hatinya terlalu mendominasi.

"Mbak, ada masalah?" tanya supir itu dengan nada ragu. Ingin tidak memperdulikan sang penumpang, namun hatinya terasa iba. Apalagi kini kondisi fisik gadis itu jauh dari kata baik.

"Mbak?"

Sang supir menghela nafas. Sekali lagi, akan ia coba.

"Mbak? Ap—"

"Bapak bisa fokus nyetir aja gak sih?!" ujar Biola dengan emosinya. Wajahnya benar-benar memerah.

"B-baik. Maaf, Mbak." Merasa dirinya sudah lancang, sang supir kembali fokus mengemudi. Beruntung kali ini kemacetan sudah mulai reda.

Satu Tawa Dua Luka [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang