46 - Rasa Kecewa

21 13 2
                                    

Sudah satu jam Biola duduk di depan kursi ruang operasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah satu jam Biola duduk di depan kursi ruang operasi. Namun, belum ada tanda-tanda bahwa operasi sudah berhasil dilaksanakan.

Helaan nafas lelah terus-menerus terdengar dari hidung Biola yang memerah. Tatapan gadis itupun terlihat kosong. Tidak ada air mata seperti beberapa jam lalu. Rasanya, Biola sudah lelah untuk menangis. Meski rasa sedih di hatinya belum berkurang sedikitpun.

"Operasi berjalan lancar. Pasien akan kami bawa ke ruang rawat inap."

Biola tersadar dari pikiran rumitnya. Dia menolehkan wajahnya ketika merasa ada yang berbicara. Benar saja, ternyata sang dokter sudah ke luar dari ruangan operasi. Mungkin karena Biola terlalu larut dalam kesedihan, ia jadi tak mendengar suara gesekan pintu ruang operasi.

"Mama saya," ujar Biola bangkit mendekati sang dokter.

"Pasien mengalami luka dalam di bagian kepalanya dan mengalami patah tulang di bagian tangannya."

Mendengar kondisi buruk Mauren, Biola memundurkan langkahnya seketika. Sang dokter pun memegang pundak Biola agar gadis itu tidak jatuh.

"M-mama ...." ujar Biola dengan tatapan sendunya.

Dokter itu melepaskan tangannya dari pundak Biola setelah dipastikan gadis itu bisa berdiri kokoh. Ia menghela nafas. "Pasien akan kami bawa ke ruang rawat inap. Kondisinya saat ini sudah stabil, tinggal menunggu pasien untuk sadar."

"B-baik, Dok," ujar Biola kemudian sang dokter kembali melangkahkan kakinya ke dalam ruang operasi.

Sedikit lega karena kondisi Mauren sudah membaik. Biola menarik nafas dalam lalu menghembuskannya melalui mulut.

Beberapa saat kemudian, dokter tadi beserta suster lainnya ke luar dari ruang operasi membawa brankar yang ditempati Mauren. Biola dengan cepat menghampiri sang mama lalu mengikuti arah brankar melaju.

"Mama, bangun," ujar Biola lirih.

Tak butuh waktu lama mereka sampai di ruang rawat inap, Mauren dipindahkan ke brankar yang baru oleh beberapa suster. Setelah beberapa alat medis terpasang di tubuhnya, sang dokter dan suster lainnya undur diri dari ruangan berwarna putih itu.

Kini, tinggal Biola yang tersisa di ruangan cukup besar itu. Kakinya melangkah mendekati brankar sang mama. Ditatapnya Mauren dengan tatapan sendu.

"Mau sampai kapan, Ma?" tanya Biola memegang tangan pucat Mauren.

Pedih rasanya. Berbicara pada seseorang yang mustahil untuk membalasnya itu suatu kesakitan yang Biola rasakan saat ini. Kesendiriannya semakin terasa saat jarum jam berdetik kencang, menghiasi keheningan antara ibu dan anak itu.

"Ma," panggil Biola lagi. Dia menghela nafas kemudian duduk di kursi yang terletak di samping brankar.

Sembari mengelus tangan Mauren, Biola bersenandung kecil menyanyikan lagu random yang tiba-tiba melintas di pikirannya. Tanpa disadari, kedua ujung bibirnya terangkat ke atas. Namun, senyuman tersebut terlihat seperti senyuman aneh.

Satu Tawa Dua Luka [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang