Pagi datang. Setelah sarapan pagi, Prabu Wijaya, ratu Tribhuwaneswari dan beberapa pejabat istana terkait seperti Rakryan Mahamantri i Katrini yang bertugas untuk meneruskan titah raja kepada para bawahan dan rakyat, serta Rakryan Mahamantri Agung Pranaraja yang bertugas di bidang keagamaan berkumpul untuk membicarakan tentang pelaksanaan upacara penobatan.
"Aku ingin dilakukan penobatan disini, di Majalengka. Lalu aku ingin memperkenalkan putriku Gitarja kepada rakyat Kahuripan dan Wyat kepada rakyat Daha. Aku ingin perkenalan mereka dilakukan di sitihinggil Daha dan Kahuripan disaksikan oleh semua jajaran pejabat terkait disana dan rakyat. Juga diberikan hiburan-hiburan kepada rakyat untuk merayakan penobatan mereka. Kalian setuju ?"
"Sendiko gusti." jawab mereka serempak.
"Tolong kalian atur semua. Aku ingin semua bisa selesai dalam waktu seminggu ini. Minggu depan adalah hari H acara penobatan lalu dilakukan anjangsana ke Daha dan Kahuripan." perintahnya.
Setelah rapat selesai, Prabu Wijaya dan permaisuri Tribhuwaneswari membicarakan tentang persiapan putra putri mereka.
"Yayi ratu, kau sudah beritahukan kepada mereka tentang penobatan mereka, bukan ? Apakah mereka sudah kau siapkan secara edukasi dan psikis ? Tanggungjawab mereka sangat besar. Terutama aku ingin anak-anakku saling membantu, saling mendukung dan kompak. Bagaimana menurutmu ? Apakah mereka sudah seperti itu ? Kau adalah ibu utama mereka. Kau pasti lebih tahu tentang mereka daripada ibu-ibu mereka yang lain."
"Sudah sinuwun. Aku memperhatikan mereka sejak kecil. Mereka besar bersama, bersekolah bersama, berlatih bersama. Walaupun mereka laki-laki dan perempuan tapi kekeluargaan mereka sangat erat. Kau memiliki putra putri yang saling mengasihi, sinuwun. Kau tidak perlu khawatir dengan kekompakan mereka."
"Iyakah ? Aku senang mendengarnya. Apa yang mereka lakukan sekarang ?"
"Mereka sedang mempersiapkan diri untuk penobatan, sinuwun. Aku memanggil resi Dwija untuk mempersiapkan mental mereka. Ini adalah tanggungjawab yang sangat besar. Jatuh bangunnya kerajaan di tangan pemimpinnya. Kalau mereka lengah, atau mereka tidak cakap dalam memimpin sudah pasti kerajaan ini akan runtuh. Aku ingat sekali kejadian dengan Mongol beberapa tahun yang lalu. Aku trauma, sinuwun. Aku takut terjadi lagi. Besar kecilnya ada kesalahan rama prabu disitu.."
Kata-kata ratu terputus. Ia teringat lagi saat ayahnya mengadakan upacara kurban untuk dewa Bhairawa. Ia teringat saat ayahnya menyembelih leher kurbannya dan meminum darahnya. Ia bergidik. Bulu kuduknya berdiri, merinding.
Melihat istrinya termenung, Prabu Wijaya merengkuhnya.
"Jangan kau ingat-ingat lagi peristiwa itu, yayi. Itu sudah berlalu." katanya sambil mencium dahi sang istri.
"Ia melakukannya untuk kami, kangmas.. Walaupun ia tahu ia mengambil jalan yang salah. Tapi ia terpaksa melakukannya. Ia tidak ingin kami menjadi budak sex Mongol.." Airmata Tribhuwaneswari menetes. Ia terisak. Wijaya memeluk erat istrinya dan menyeka airmatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Fiksi SejarahIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...