Setelah perayaan pelantikan putri-putrinya, Prabu Wijaya kembali ke Majalengka beserta para istrinya. Adapun para putrinya semua menetap di kerajaan yang menjadi wilayah kekuasaan masing-masing. Setiap kerajaan bawahan merupakan kerajaan otonom. Mereka hanya diwajibkan untuk menyerahkan pajak ke pemerintah pusat setiap tahunnya.
Di istana, Prabu Wijaya mendatangi kaputren istrinya, Dara Petak. Melihat kedatangan rajanya, Dara Petak dan semua emban bersimpuh menyembah. Prabu Wijaya menyuruh mereka semua pergi meninggalkan kaputren. Tinggallah ia dan istrinya berdua. Mereka duduk di kursi sambil menikmati teh hangat.
Dara Petak dan emban kesayangannya
"Sore ini indah sekali, yayi. Apakah kau merasa begitu ?"
"Ya sinuwun. Indah sekali. Begitu tenang dan damai."
"Hm.. Benar.. Suasana begitu tenang dan damai kecuali hatiku."
"Hatimu, sinuwun ? Ada apa ? Kalau ada masalah, kalau sinuwun berkenan bolehlah berbagi dengan hamba, barangkali hamba bisa membantu."
"Aku mendengar desas desus di kaputrenmu ini banyak saudagar dan pejabat yang keluar masuk kemari. Apakah itu benar ?"
Dara Petak tersentak. Ia segera bersimpuh menyembah.
"Itu tidak benar, tuanku. Siapakah yang menyebarkan desas desus itu ? Hamba bersumpah itu tidak benar."
"Apakah benar sumpahmu itu ? Aku melihat kamar anakmu Jayanegara penuh dengan peti-peti hadiah dari para kenalanmu itu. Apakah kau mau menyangkalnya ?"
Wajah Dara Petak pucat pasi.
"Itu hanya hadiah, sinuwun. Mereka menyukai Jayanegara. Sinuwun kan tahu sendiri betapa anak itu bekerja keras untuk membangun dan mengembangkan kerajaan ini. Mereka memberikannya setulus hati."
BRAK !! Meja digebrak oleh sang prabu.
"Mana ada saudagar memberikan hadiah setulus hati ? Kau kira aku anak kecil yang bisa kau bohongi sesuka hati ??!"
Dara Petak tersentak ketakutan.
"Jangan marah, sinuwun. Nanti pusingnya datang lagi."
"Bagaimana mungkin kau menjerumuskan anakmu sendiri dalam korupsi kolusi ?? Kau pasti tahu tidak ada barang gratisan di dunia ini ! Ibu macam apa kau ini ??!!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk wajah sang istri. Sorot matanya tajam, suaranya menggelegar membuat para emban diluar ketakutan mendengarnya. Dara Petak yang ketakutan segera menundukkan wajahnya.
"Maafkan hamba, tuanku. Hamba hanya seorang wanita. Hamba tidak pernah berhubungan dengan hal-hal tentang kenegaraan. Mana hamba tahu kalau mereka tidak tulus memberikan hadiah-hadiah itu ? Hamba tidak pernah terlibat dalam perdagangan ataupun suatu apa, sinuwun. Hamba benar-benar tidak mengerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Historical FictionIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...