Bab 29 Membangun Lombok dan Sumbawa

33 1 0
                                    

Pemandangan persawahan sungguh indah dan damai. Tampak jejeran sawah dengan tanaman padinya yang mulai menguning. Warnanya keemasan. Dikejauhan tampak seorang petani memanggul paculnya, berjalan di tengah pematang sawah. Terdengar gemericik air mengalir dari sela-sela pematang sawah. Hamparan sawah itu sungguh memanjakan mata dan telinga.

Kudamerta melambatkan kudanya. Ia termangu-mangu menatap pemandangan yang disediakan alam padanya. Begitu damai, begitu tenang dan hening.

Ia menghentikan kudanya dan turun dari punggung kuda yang tinggi dan gagah itu. Kuda sumbawa itu adalah hadiah dari ayahnya saat kelulusannya dari kemandalaan. Saat itu ayahnya sangat bangga padanya. 

Kudamerta duduk di batang kayu yang melintang di bawah pohon. Dipandanginya cincin yang setia melekat di kelingkingnya. Cincin itu pemberian Dyah Wyat agar ia selalu ingat padanya. Ditariknya cincin itu, diamat-amatinya. Cincin itu sangat cantik. Disainnya rumit berbentuk bunga. Disain seperti ini tidak akan ada di toko-toko biasa karena itu adalah disain yang dibuat oleh Prabu Wijaya sendiri untuk putri kesayangannya. Kudamerta termangu-mangu menatap cincin itu.

....

Jadi kau telah menikah, kangmas ?

...

Terdengar suara Dyah Wyat di telinganya.

...

Aku akan kembali untuk menikahimu.. Aku berjanji..

...

Kudamerta mendengar lagi ucapannya dulu. Ia flash back ke masa lalu. Ia seperti melihat dirinya sedang menggenggam tangan Dyah Wyat di istana Majalengka. 

Kudamerta dan Dyah Wyat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kudamerta dan Dyah Wyat

...

Aku akan kembali untuk menikahimu... Aku berjanji...

...

Kau telah menikah, kangmas ?

...

Gema suara Dyah Wyat dan suaranya berganti-ganti terus menerus terdengar di telinganya.  

Kudamerta menutup telinganya. Suara-suara itu begitu gaduh terdengar di otaknya. 

AAAAAAAHHHH !!

Ia berteriak keras untuk membubarkan suara-suara itu. Teriakannya mengagetkan kudanya. Kuda yang bernama Nila Rangga itu meringkik. Ia mendengus-dengus, mendekatkan mukanya ke tuannya. Kudamerta mengelus-elus rambut kuda kesayangannya itu. 

"Kau tahu betapa galau hatiku ? Kau bisa merasakannya ?" Tanyanya. 

Kuda itu mendengus-dengus sambil menoleh-noleh.

"Kau ingin menghiburku, Nila ? Kau sungguh baik.. Tapi aku tidak pantas kau hibur. Aku seorang pecundang bodoh. Aku kehilangan gadis yang kucintai, kau tahu ? Aku kehilangan dia untuk selamanya. Aku tak mampu memenuhi janjiku, Nila. Masihkah aku bisa disebut satria, Nila ? 

Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang