Pagi datang. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Penduduk bumi mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing.
Di taman Majalengka burung-burung berkicau bahagia menyambut pagi. Mereka tertawa-tawa dan bersenandung bersahut-sahutan. Para petugas taman datang membawa sapu dan sabit. Mereka memangkas rumput yang mulai meninggi dan mencabuti rumput-rumput liar. Beruntung taman sari ini tidak terbakar, sehingga masih bisa dinikmati keindahannya. Tangan-tangan dingin para mpu telah membuat taman ini tampak begitu indah dan asri. Siapapun betah di dalamnya.
Jayanegara membuka matanya. Ia terheran-heran melihat kelambu di atas ranjang. Kelambu ini begitu feminin. Ia menoleh. Tampak Gitarja masih tertidur di kursi. Kepalanya rebah di meja berbantalkan tangan.
Samar-samar ia teringat kejadian semalam. Betapa terharunya hati sang prabu teringat pembicaraannya dengan kakaknya dan melihatnya rela tidur di kursi sepanjang malam demi agar ia bisa tidur di ranjangnya. Bisa dibayangkan betapa lelah pasti Gitarja, tidur semalaman di atas kursi. Perlahan-lahan didekatinya kakaknya. Dengan lemah lembut diangkatnya tubuh ramping Gitarja, digendongnya dan dibaringkan di ranjangnya. Diselimutinya dengan hati-hati agar ia tidak terbangun.
Prabu Jayanegara tersenyum. Hatinya hangat oleh cinta kasih kepada gadis itu. Dipandangnya wajahnya yang lembut dan ayu. Di belainya pipinya yang halus.
"Kau sungguh cantik, kangmbok. Kau adalah milikku. Selamanya kau milikku. Aku tidak akan menyerahkanmu kepada siapapun. Aku tidak rela melihatmu dipangkuan laki-laki manapun."
Sejenak ia termangu.
"Aku pergi dulu, kangmbok. Tidurlah. Kau pasti lelah. Maafkan aku telah membuatmu tersiksa semalam."
Bhre Kahuripan, Dyah Gitarja
Diciumnya dahi kakaknya. Ia lalu bergegas keluar. Setelah mandi ia sarapan pagi dengan Wyat.
"Dimana kangmbok, kangmas ?" Tanya Wyat keheranan.
"Ia masih tidur. Aku tidak ingin membangunkannya."
"Oh.. Tumben kangmbok belum bangun. Biasanya ia rajin bangun pagi-pagi."
Jayanegara hanya tersenyum.
"Bagaimana dirimu ? Tidurmu nyenyak semalam ?" Tanyanya.
"Aku baik. Kakang, aku ingin kembali ke Daha. Aku harus menengok Daha. Biar bagaimana Daha adalah amanah dari ayah. Aku tidak bisa meninggalkannya terlalu lama."
"Daha memang amanah ayah. Tapi kau adalah perempuan. Dulu ayah menitipkan Daha padamu karena ada paman Lembu Sora. Sekarang paman telah tiada. Siapa yang akan menjagamu disana ?"
"Aku bisa menjaga diri, kakang."
Jayanegara tersenyum sambil membelai kepala adiknya.
"Kau perempuan. Keselamatanmu adalah tanggungjawabku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Ficção HistóricaIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...