Drap drap drap
Derap suara langkah kuda terdengar di keheningan jalan. Kereta kuda Gayatri bergerak memasuki halaman pertapaan Ki Ajar Plandongan. Kedatangannya disambut oleh para cantrik pertapaan.
Gayatri turun dari keretanya dibantu seorang emban. Ia melangkah masuk ke pertapaan.
"Dimana sang resi ?" Tanyanya.
"Ada sedang bersemadi di belakang, gusti." Sembah seorang cantrik.
Dengan ditemani para emban dan cantrik, Gayatri berjalan ke halaman belakang. Di halaman yang luas itu seorang resi muda bertubuh gagah sedang duduk bersemadi. Ia duduk diatas batu besar. Batu itu biasa dipakainya untuk bertapa. Walaupun ia masih muda, tapi ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Batu cadas besar berwarna hitam itu sampai berlegok menyerupai telapak kaki karena ditindih oleh telapak kakinya.
Gayatri memberikan salam kepadanya.
"Rahayu.. Rahayu... Angger Kuda Anjapiani, bagaimana kabarmu ?"
Kuda Anjapiani membuka matanya. Ia tersenyum. Tampak betapa tampan wajahnya. Sebuah kumis tipis menghiasi wajahnya seolah-olah membingkainya menjadi sebuah bentuk yang rupawan. Kuda Anjapiani menyembah hormat pada Gayatri. Sang resi wanita itu mengambil tangannya. Kuda Anjapiani memperhatikan sosok wanita anggun di hadapannya. Gayatri telah menua. Namun walau wajahnya telah keriput, masih tampak sisa-sisa kecantikannya.
"Rahayu.. Rahayu, ibu resi. Hamba baik, gusti. Ada apakah gusti datang kemari ? Apa yang bisa hamba bantu ?"
"Anakku Anjapiani, ibu ingin memintamu mengabdi di Wilwatikta seperti halnya ayahmu, kakang Ranggalawe.."
Kuda Anjapiani terkejut. Ia teringat kembali pada mendiang ayah dan ibunya.
"Anakku, kau mewarisi sifat dan keberanian ayahmu. Kerajaan dan rakyat membutuhkan bantuanmu. Jangan kau sia-siakan kepandaianmu, nak. Semua itu adalah karunia dan pemberian Hyang Widhi. Semua itu bukan untuk dirimu sendiri, tapi kau hanya mendapat titipanNya untuk kau dharmakan pada rakyat banyak.."
Kuda Anjapiani menundukkan wajahnya. Sebenarnya ia tidak tertarik untuk terjun ke dunia kerajaan. Ia teringat pada nasib ayahnya yang menjadi korban fitnah. Ia teringat pada leluhurnya yang mendharmakan diri sebagai resi dan guru. Kalau ia memang ingin mendharmabaktikan diri pada masyarakat sebagai satria, ia tidak akan meninggalkan Lamajang Tigang Juru, kerajaan kakeknya, Prabu Menak Koncar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Historical FictionIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...