Sepeninggal Kudamerta, Dyah Wyat masih tersedu-sedu sambil memeluki kakaknya. Ia merasakan kedamaian dalam pelukan Jayanegara. Prabu Jayanegara membelai kepala adindanya dengan penuh cinta.
"Kaka prabu.."
"Hmm ..?"
"Terimakasih kaka prabu telah menemaniku selama ini. Aku sayang sama kaka prabu.." Katanya sambil memandang wajah sang prabu.
"Aku pun sayang padamu. Kau adikku satu-satunya. Kau adalah peninggalan ayah yang paling berharga untukku. Aku akan melindungimu dengan segenap jiwa ragaku."
Mendengar ini Dyah Wyat menjadi terharu. Ia merasa hatinya sedikit terhibur dengan curahan kasih sayang kakaknya.
"Terimakasih kakang.. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kakang.. Tanpa kakang disisiku, aku mungkin sudah bunuh diri sekarang.."
"Gadis bodoh. Kenapa kau mau sia-siakan hidupmu hanya untuk seorang laki-laki ? Kau sangat cantik. Kau bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kau mau." Katanya sambil mencubit hidung adiknya.
Dyah Wyat tersenyum. Hatinya terhibur mendengar pujian kakaknya. Siapa gadis yang tidak suka dipuji cantik ? Gadis itu menyeka sisa-sisa air matanya.
"Kaka prabu, kita sudah lama tidak mengunjungi makam ayah.. Maukah kau kesana bersamaku ?"
Jayanegara tercenung.
"Hm.. Ya.. Sudah lama juga.. Kau mau kesana ?"
Dyah Wyat mengangguk.
"Ayo kutemani."
"Terimakasih kakang.."
Prabu Jayanegara memapah adiknya masuk ke istana. Setibanya di dalam ia memerintahkan emban untuk menyiapkan makan siang. Mereka makan siang bersama di ruang makan kerajaan.
Ruang makan Wilwatikta sangat besar. Di dalam ruangan terdapat meja kayu besar dengan banyak kursi mengelilinginya. Kursi-kursi itu dibuat dari kayu jati kuat dengan ukiran yang sangat halus. Prabu Wijaya menggunakan ruang makan selain untuk makan bersama keluarganya, ia juga menjamu tamu-tamunya disana.
Para emban menghaturkan berbagai hidangan dengan menggunakan perangkat makan mewah terbuat dari corcoran emas dan perak dengan relief cantik berbentuk sulur-suluran dan bunga-bungaan. Setelah makan, mereka bercakap-cakap. Sepanjang percakapan Dyah Wyat hanya berdiam diri.
"Ibu, kami ingin mengunjungi makam ayah. Apakah ibu ingin ikut dengan kami kesana ?" Tanya Prabu Jayanegara pada ibunya.
Dara Petak memandang putra putrinya berganti-ganti.
"Ibu rasa ibu sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh. Kalian sajalah yang pergi." Katanya.
"Ya, baiklah. Aku akan memerintahkan Patih Halayuda untuk mempersiapkan kepergian kami. Selama kami pergi, Halayuda yang akan menjaga istana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Historical FictionIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...