Bab 38 Lahirnya Hayam Wuruk

115 2 2
                                    

Berita kematian Prabu Jayanegara tersebar ke seluruh penjuru kerajaan. Ratu Kahuripan dan Cakranegara bergegas ke ibukota Wilwatikta. Setibanya disana, jenazah Prabu Jayanegara telah dimandikan dan di balsam. Gayatri terlihat menangis tak henti-henti. Dyah Wyat tampak berusaha menghibur ibundanya.

Langit terlihat mendung. Para resi telah berdatangan untuk mempersiapkan upacara pembakaran jenazah. Dupa wangi mengepul di setiap sudut istana. Karangan bunga menghiasi meja dan halaman.

Jenazah raja muda itu dibaringkan diatas tilam yang telah ditutupi kain putih. Wajahnya tampak tenang. Ia tampak seolah-olah sedang tidur. Rangkaian bunga mawar, melati dan kantil semerbak wangi menutupi tubuhnya.

Gayatri menatap wajah putra tirinya itu.

"Maafkan ibu, nak.. Maafkan ibu.. Sekarang kau telah bebas dari semua beban batinmu, dari semua deritamu. Kau telah menjalankan darmamu. Tugasmu sebagai satria telah selesai.. Semoga ruhmu bersatu dengan Hyang Widhi." Katanya dalam hati. 

Di tempat lain Nyi Tanca menangis tersedu-sedu. Ia menyesali keputusannya untuk jujur kepada suaminya. Seharusnya ia berbohong saja. Seharusnya ia mengikuti kata hatinya dengan tidak mengungkapkan kebenaran. Namun apa lacur semua sudah terjadi. Suami tercinta gugur menjalankan dharmanya sebagai suami dan kepala keluarga. Ia gugur demi membela harga diri sang istri.

"Bibi.. Paman berpesan padaku untuk menjaga bibi.." Kata Gajah Mada lirih.

"Anakku, ngger.. Bibi sudah pasrah. Bibi akan menyerahkan nasib kepada hakim."

"Bibi tidak usah khawatir. Gusti ayu Gayatri telah memutuskan kasus ini selesai dengan kematian paman Ra Tanca. Bibi bisa bekerja seperti biasa. Keahlian bibi sangat diperlukan di kerajaan ini. Bibi adalah murid terkasih dari paman Ra Tanca. Bibi mewarisi seluruh pengetahuannya. Bibi diminta oleh gusti ayu untuk menjadi dokter istana, menggantikan tugas paman Ra Tanca.."

"Ya, baiklah ngger. Bibi terima tugas dengan senang hati. Terimakasih atas informasimu."

"Dengan senang hati, bibi. Kalau begitu hamba pergi dulu. Hamba akan kembali ke istana mengurus jenazah sinuwun prabu.."

"Ya, pergilah ngger.."

Gajah Mada berpamitan. Ia melangkah menuju kudanya. Dinaikinya kudanya, dipacunya ke istana. Sepanjang jalan ia melamun. Ia teringat pada aji Lembu Sekilan yang diberikan sang prabu kepadanya.

Setibanya di istana, ia menghadap Gayatri.

"Gusti ayu, aji Lembu Sekilan sinuwun ada pada hamba. Apa yang harus hamba lakukan dengan ajian ini ? Ini bukan milik hamba. Ini milik mendiang sinuwun Prabu Wijaya."

"Gajah Mada, sinuwun telah memberikannya kepadamu. Berarti takdir ajian itu ada padamu. Ngger, ambillah ajian itu. Pesanku, pergunakanlah ajian itu untuk kemakmuran dan kejayaan kerajaan ini."

"Sendiko gusti ayu."

Gajah Mada undur diri.

Keesokan harinya diadakan upacara perabuan jenazah Prabu Jayanegara. Para resi melakukan upacara doa agar ruh sang prabu bersatu dengan zatNya di alam keabadian. Setelah dilakukan upacara doa, tubuhnya dinaikkan di pancaka. Kayu disulut. Api berkobar-kobar membakar jazad sang raja. Gayatri dan kedua putrinya menangis menyaksikan tubuh itu terbakar menjadi abu.

Setelah api padam, para yogi dan yoga mengumpulkan abu serta sisa-sisa tulang dan gigi dan memasukkannya ke dalam kendi. Kendi itu akan dikuburkan di dalam candi pendarmaan Jayanegara, yaitu candi Srenggapura di Kapopongan, Antawulan (Trowulan).

Sepeninggal Jayanegara, Gayatri mengumpulkan para menteri dan ponggawanya. Ia mengangkat putri sulungnya, Dyah Gitarja sebagai ratu di Wilwatikta menggantikan Jayanegara dengan gelar abhiseka Shri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Adapun Dyah Wyat tetap dijadikan sebagai ratu di Kediri yang beribukota di Dahanapura (Daha) dengan gelar abhiseka Rajadewi Maharajasa Bhre Daha.

Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang