Bab 31 Penyerbuan ke Istana

41 4 1
                                    

Suasana istana di malam hari demikian sepi. Hanya terlihat beberapa prajurit sedang berjaga. Api obor dinyalakan di setiap sudut istana. Istana tampak terang menerangi keadaan disekitarnya. Istana Majalengka terletak di dalam hutan Tarik. Karena terletak di dalam hutan, pemukiman sekitarnya hanyalah pemukiman penduduk yang bekerja di sekitar istana. Mayoritas penduduk bertempat tinggal dan bekerja di sekitar sungai Brantas yang berpusat di pelabuhan Canggu.

Tampak prajurit jaga berganti shift. Mereka melaporkan situasi terakhir kepada prajurit yang bertugas di shift berikutnya. 

Dibalik semak-semak hutan, Ra Kuti mempersiapkan barisannya. Beberapa dari mereka membawa obor dengan apinya yang besar menyala-nyala. Mereka berniat untuk membakar istana. Istana Majalengka sebagaimana istana jaman dulu, terbuat dari bahan organik yang mudah rusak. Kebanyakan atap terbuat dari rumbia. Hanya atap istana utama saja yang terbuat dari genting. Dindingpun masih banyak yang terbuat dari kayu. Majalengka yang terletak di dataran rendah memang berhawa panas. Karena itu jendela istana dibuat besar-besar dan berbahan baku kayu.

"Apakah kalian telah siap ?" Tanyanya.

"Siap gusti."

"Bagus. Malam ini Halayuda tidak berjaga di istana. Malam ini giliranku. Penjagaan sedang sangat lengah. Kalian harus ikuti perintahku. Pasukan panah bersiap di belakang."

"Sendiko gusti."

Ra Kuti dan beberapa anak buahnya berjalan mendekati pintu istana. Rupanya para penjaga shift tengah malam adalah bagian dari kelompok mereka. Melihat gustinya datang, prajurit itu menghunus pedang mereka. Mereka ikut gank Ra Kuti masuk ke dalam istana. 

Sebagai senapati perang Wilwatikta, Ra Kuti memiliki banyak prajurit yang loyal padanya. Para prajurit itu berkumpul di halaman. Mereka bersiap untuk melakukan pendudukan istana.

"Kalian bakar istana pendamping, tapi jangan istana utama. Bakar semua. Jangan sisakan. Bunuh siapapun yang menghalangi kalian !" Perintahnya.

"Sendiko gusti !"

Para prajurit Ra Kuti berpencar.  Siapapun yang bukan anggota barisan mereka ditebas habis sesuai perintah senapatinya. Ra Kuti adalah pemimpin pasukan angkatan bersenjata Wilwatikta. Sebagai pimpinan tertinggi ia memiliki falsafah kepemimpinan mulat laku jantraning dahana yang berarti seorang pemimpin harus meneladani api yang panas serta sanggup membakar segala yang apapun yang menghalanginya. Seorang pemimpin harus berwibawa serta bernyali untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu, serta memerangi keangkara murkaan. Karena itu ia tak segan-segan menghabisi siapapun yang dianggapnya menghalangi penegakan keadilan dan kebenaran.

Terjadi kehebohan di dalam istana. Suara teriakan para prajurit yang kesakitan tertusuk pedang dan tombak bercampur dengan teriakan memberi semangat terdengar dimana-mana. Para emban berlarian ketakutan. Mereka berhamburan kemana-mana.

"Bunuh semua kecuali para wanita ! Habisi semua orang asing !! Bersihkan istana dari semua orang asing itu ! Hidup Wilwatikta ! Rawe-rawe rantas, malang-malang putung !!" Teriak sang senapati.

Salah satu prajurit melaporkan kejadian di istana pada patih Halayuda. Sang patih bergegas pergi ke istana. Tak berapa lama para hulubalang Dharmasraya pun ikut datang. Mereka menghunus pedangnya masing-masing.

Tak lama Ra Kuti bertemu dengan mereka.

"Kau mau memberontak, Ra Kuti ?" Tanya Halayuda.

"Hahahaaa .. Aku pemberontak ? Kalau aku pemberontak, kalian penjajah ! Aku akan mengembalikan kesucian tahta Wilwatikta ini kepada pemiliknya, yaitu kami, pemilik asli pulau Jawa ini ! Kamilah pemilik kerajaan ini, bukan kau dan semua orang asing itu ! Kami akan membebaskan tanah Jawa dari penjajahan kalian, hai orang asing !!"

Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang