Enjing bidhal gumuruh
Saking jroning praja
Gunging kang kala kuswa
Aba busananira lir surya wedaliraSaking jaladri arsa madangi jagad
Duk mungup-mungup aneng
Sakpucaking wukir
Marbabak bang sumirat
Keneng soroting surya
Mega lan gunung-gunungTerjemahan:
Pagi berangkat gegap gempita
Dari ibukota kerajaan
Segenap bala tentara
Dengan kebesaran busana seragam
Ibarat matahari terbitDari tepi samudra
Bergerak menerangi alam raya
Gemerlap sinarnya menyinari
Puncak gunung-gunung dan mega-mega
Tampak kemerah-merahan
Demikian pula pantulan cahaya
Dari mega-mega dan gunung-gunungPagi hari di halaman istana, Ratu Tribhuana dan Prabu Cakranegara melepas prajurit-prajurit terpilih Wilwatikta untuk melaksanakan tugas menuju kerajaan-kerajaan di sepanjang cakrawala sebagai bagian dari perencanaan pembentukan Cakrawala Mandala Dwipantara (persatuan nuswantara untuk menghadapi ancaman asing).
Segenap bala tentara Wilwatikta mengenakan busana seragam mereka yang gemerlap yang menambah rasa keagungan pada diri mereka. Semua menggenggam senjatanya masing-masing. Seluruh rakyat yang menonton memandang dengan bangga pada angkatan bersenjata kerajaan.
"Pakne, lihatlah putramu. Betapa gagahnya dia. Aku bangga dengan putra kita." Kata salah seorang ibu yang menonton barisan prajurit itu.
"Iya, bukne. Aku juga bangga dengan putra kita. Ia maju menjadi tentara angkatan bersenjata kita karena ingin melindungi kerajaan ini dari serangan asing. Kau ingat kan, bukne betapa kita nyaris dijajah oleh Mongol ? Ia tidak ingin penjajahan itu terjadi di bumi pertiwi."
"Iya, pakne. Itulah hebatnya putra kita. Ia tidak memikirkan diri sendiri. Ia merelakan jiwa raganya untuk melindungi tanah tumpah darahnya."
Nararyya Tetep berdiri di samping sang guru memandang lautan manusia, para prajurit Wilwatikta.
Hayam Wuruk/Nararyya Tetep
"Guru, apakah mereka ini siap mental untuk bertempur apabila kerajaan-kerajaan itu menolak bergabung dengan kita ?"
"Tentu, gusti. Mereka telah menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk tujuan mulia kita."
"Mengapa mereka mau melakukan itu, guru ? Tidakkah mereka takut akan kematian ? Tidakkah mereka khawatir akan rasa sakit apabila tubuh mereka tertusuk tombak atau tertebas pedang ?"
"Mereka sudah tidak memikirkan hal itu, gusti. Yang ada dalam pikiran mereka hanya bagaimana berbakti pada tanah air."
"Bagaimana mereka bisa tidak memikirkan hal itu, guru ? Mereka adalah manusia. Sudah sewajarnya manusia takut mati, takut akan rasa sakit."
"Karena jiwa mereka sudah bersatu dengan zatNya, gusti. Itulah yang dinamakan ikhlas. Keikhlasan pada Sang Murbeng Dumadi melahirkan rasa kepasrahan. Mereka telah memasrahkan jiwa raga hanya kepada Gusti Allah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Historical FictionIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...