Di kamarnya, Prabu Jayanegara duduk termenung. Di tangannya tampak tergenggam sebuah cawan berisi arak. Ia meneguknya dengan cepat. Lalu dituangnya arak dari botolnya. Di teguknya lagi arak itu.
2 hari berlalu dari sejak Cakradara melamar Gitarja tapi semua kata-katanya masih terngiang jelas di kepalanya seolah-olah baru kemarin terjadi.
"Kau ingin melamar Gitarja ?! Tidak akan !! Aku tidak rela kalian menikah !" Katanya dalam hati.
Dipandangnya kamar tidurnya. Kamar ini adalah kamar ayahnya dulu. Beruntung istana utama tidak terbakar sehingga kamar yang penuh nostalgia ini terselamatkan dari amukan api. Diperhatikannya seluruh detil kamar itu. Kamar itu sungguh mewah. Ia teringat pada kamarnya di karesian Medander. Begitu berkebalikan, bagaikan langit dan bumi. Ia teringat lagi pada pembicaraannya dengan saudara-saudaranya. Ia teringat lagi pada saat mereka berpelukan. Walaupun ia kehilangan tahta, walaupun mereka hidup sederhana, makan dan tidur seadanya, tapi kehangatan dan kasih sayang terasa begitu menentramkan hati, begitu menyejukkan.
Ia tidak ingin kehilangan semua kasih sayang itu. Begitu haus jiwanya akan cinta kasih. Cinta kasih tulus sejati hanya diperoleh dari kedua saudaranya. Tidak ada orang lain yang bisa memberikannya. Mereka tidak memandang siapa dia, tidak memandang apakah ia seorang raja ataupun seorang papa, mereka mengasihinya siapapun dirinya. Betapa berharganya cinta kasih yang tulus murni dari lubuk hati yang paling dalam. Cinta itu begitu suci dan mulia. Tidak ada harta benda yang bisa membelinya.
Wajahnya berubah. Pandangan matanya berubah menjadi tajam. Kulit mukanya memerah karena marah. Alkohol mulai mempengaruhi otaknya. Ia meremas cawan di tangannya.
KREKK !
Dalam sekejab cawan itu hancur jadi abu terkena tenaga murninya yang besar.
Di kamar terpisah, Bhre Kahuripan Dyah Gitarja duduk di kursinya. Malam telah larut, suasana begitu gelap. Namun lampu-lampu minyak di kamarnya membuat suasana kamar menjadi terang. Di tangannya tergenggam sebuah buku yang terbuat dari jalinan daun lontar. Matanya tertuju pada tulisan-tulisan pallawa di buku itu tapi huruf-huruf itu tidak terbaca olehnya. Pikirannya melayang ke Cakradara.
Teringat pada Cakradara, Dyah Gitarja tidak dapat berkonsentrasi pada bukunya. Semakin lama bayangan pemuda itu seperti semakin jelas di pikirannya. Dyah Gitarja menghela nafas panjang. Entah berapa lama lagi istana itu akan selesai, kangmas ? Keluhnya dalam hati.
Di luar suasana istana semakin senyap. Hanya terlihat nyala obor menerangi sudut-sudut taman.
BRAKKK !!
Pintu tiba-tiba terbuka paksa. Kayu pemalang pintu patah akibat pintu ditendang kuat. Dyah Gitarja hampir melompat dari duduknya karena kagetnya. Seorang pria terhuyung-huyung masuk ke dalam kamarnya. Betapa terkejutnya ia melihat ada yang lancang masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Kangmbok (kakak).. "
Prabu Jayanegara terhuyung-huyung berjalan masuk ke kamar kakaknya. Ia berpegangan di tirai kain di dalam kamar. Tirai itu sobek karena tak mampu menahan berat tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Historical FictionIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...