Bab 8 Skandal di Istana

124 5 2
                                    

Beberapa minggu berlalu. Sejak Jayanegara menerima aji Lembu Sekilan, ia rajin berlatih olah kanuragan. Akibatnya tubuhnya yang tadinya sakit-sakitan sekarang menjadi bertambah sehat. Tubuh remaja berusia 16 tahun yang tinggi dan atletis itu makin tampak berisi. Ia memang seorang pemuda yang tampan dan sangat gagah. Perawakannya yang menawan membuat siapapun yang melihatnya jatuh hati padanya.

Hingga siang ia berlatih olah kanuragan ditemani beberapa tamtama. Mereka kewalahan mengatasi serangan pemuda itu. Prabu Wijaya tersenyum melihat putranya dapat mengalahkan lawan-lawannya.

"Kau makin hebat saja, nak."

"Terimakasih ayah. Aji Lembu Sekilan itu membuat tubuhku terasa bugar terus. Aku jadi tidak mudah capek seperti dulu, ayah."

"Ayah senang mendengarnya, ngger. Kalau begitu ayah akan pergi dulu. Ada yang harus ayah kerjakan. Kau teruskan latihanmu."

"Ya ayah."

Setelah ayahnya tidak terlihat, Jayanegara menyudahi latihannya. Ia pergi ke taman tirta untuk mandi. Setelah mandi ia menuju perpustakaan. Tiba-tiba dilihatnya Kinasih sedang mencabut beberapa rimpang di taman. Dihampirinya gadis itu.

"Kinasih, apa yang sedang kau kerjakan ?'

Melihat kedatangan sang pangeran, Kinasih buru-buru menyembah.

"Maaf gusti, hamba sedang mencabut beberapa rimpang untuk dibuat jamu."

"Jamu apa ? Rimpang apa ? Kenapa disini ada rimpang untuk jamu ?"

"Ini taman jamu-jamuan yang ditanam oleh gusti ayu Mahadewi, gusti. Jamu-jamuan ini untuk pengobatan gusti prabu."

"Kau tidak perlu mengerjakan pekerjaan kotor seperti ini, Kinasih. Aku akan membantumu."

Sang pangeran lalu berjongkok dan mencabut rimpang yang lumayan besar. 

"Jangan gusti, tidak pantas seorang pangeran mengerjakan pekerjaan seperti ini. Biar hamba saja yang mengerjakannya."

"Kan sudah kukatakan, panggil aku kangmas. Aku tidak mau mendengar kau memanggil gusti lagi."

Kinasih tersipu-sipu mendengarnya.

"Ini rimpangnya." kata Jayanegara sambil menyerahkan rimpang itu kepada si gadis. 

"Terimakasih kangmas." kata Kinasih. Tangannya terulur ragu-ragu untuk mengambil rimpang dari tangan Jayanegara. Namun belum juga tangannya meraih rimpang, tiba-tiba Jayanegara menarik tangannya. Tangan Kinasih menggapai udara kosong. Jayanegara tergelak. Kinasih menjadi malu.

"Cium aku dulu baru kau dapatkan rimpang ini." Kata Jayanegara sambil menunjuk pipinya.

"Tapi kangmas.. " Kinasih ragu-ragu. Ia belum pernah bersentuhan dengan laki-laki. Kata-kata Jayanegara membuatnya risih.

"Ya sudah kalau kau tidak mau menciumku, aku yang menciummu."

Sang pangeran memeluk Kinasih dan menundukkan wajahnya. Ia mencium bibir merah gadis itu dengan lembut. Kinasih memejamkan matanya. Jantungnya berdebar-debar kencang. Dicium seorang pemuda tampan saja sudah menjadi impian setiap gadis muda, apalagi bila pemuda itu pewaris tahta Majapahit. Kalau ia menceritakannya pada kawan-kawannya di desa, rasanya tidak akan ada seorangpun yang mempercayainya. Bagi gadis desa seperti Kinasih, seperti mimpi dicium oleh seorang pangeran. 

"Kinasih, ikut aku." kata Jayanegara sambil mencengkram pergelangan tangan si gadis. Ia menyeretnya pergi dari taman.

"Kemana kangmas ? Rimpang ini ditunggu gusti ayu Mahadewi." kata Kinasih ketakutan.

"Ibu pasti akan menyuruh orang lain untuk mengambil rimpang itu. Kau tenang saja." kata Jayanegara menenangkan hati Kinasih.

Kinasih menurut. Ia berjalan di belakang sang pangeran. Mereka berjalan bergandengan tangan. Betapa terkejutnya Kinasih melihat Jayanegara membawanya ke kamar sang pangeran. 

Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang