Bab 23 Menata Pemerintahan di Bali

50 3 1
                                    

Hari ini resi Dang Hyang Subali mengadakan pertemuan akbar. Ia mengundang para keturunan Wangsa Jaya dan Wangsa Warmadewa untuk duduk dan bertemu dengan petinggi Wilwatikta, Nararyya Kudamerta. Sejak pagi dengan dibantu pasukan Wilwatikta, karesian sibuk mempersiapkan perjamuan untuk para petinggi kerajaan itu. Para cantrik tampak membersihkan aula, menyapu dan mengepel. Para wanita di dapur sibuk memasak untuk jamuan makan. Nararyya Kudamerta mengirimkan sapi, kerbau, dan beberapa hewan ternak lainnya untuk dimasak untuk perjamuan. 

Dalam proses pengangkatan seorang raja baru memang para resi memegang peran penting karena selain mereka adalah guru spiritual, mereka juga dipandang sebagai seorang yang bijak dan karena itu pendapatnya dianggap sakral dan harus dipatuhi.

Sejak kemangkatan raja terakhir Bali, yaitu Prabu Shri Hyang ning Hyang Adidewa Lancana, memang kepemimpinan di Pulau Bali kosong*. Tidak ada pemimpin yang dianggap cakap untuk memimpin. Hal ini disebabkan karena sistem ketatanegaraan di Bali belum sekokoh di kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Disinilah peran penting Nararyya Kudamerta untuk menata kembali pemerintahan di Bali dan untuk mengembalikan kredibilitas Kerajaan Majapahit di daerah Bali dengan hukum-hukum ketatanegaraan yang kuat. Menyadari peran pentingnya ini, Kudamerta tidak main-main dalam mengerjakan tugasnya.  

Di jam yang telah ditentukan para tetamu berdatangan. Dari pihak Wangsa Jaya diwakili oleh Shri Walajaya Kartaningrat. Dari pihak Wangsa Warmadewa diwakili oleh Shri Bhatara Mahaguru Dharmatunggu Warmadewa. Masing-masing pihak membawa pengiringnya masing-masing. Kedua tamu kehormatan ini lalu menduduki tempat mereka masing-masing. 

Tak lama datang pula Nararyya Kudamerta sebagai utusan Wilwatikta, yaitu kerajaan yang menjadi penguasa pulau Bali. Sejak pemerintahan Prabu Kartanegara dari Kerajaan Singhasari, pulau Bali telah menjadi kerajaan vassal dari Singhasari. Karena Wilwatikta adalah penerus Singhasari dengan demikian raja-raja di Pulau Bali harus mendapat restu dari Wilwatikta, dalam hal ini restu dari Nararyya Kudamerta sebagai wakil dari Prabu Jayanegara. Semua petinggi kerajaan ini menggunakan pakaian kebesarannya yang mewah dan gemerlap untuk menghormati kerajaan masing-masing. Nampak aura kerajaan kental terasa di pertapaan yang biasanya sepi itu.

"Rahayu.. Rahayu.. Mugya rahayu sagung dumadi (semoga semua makhluk di dunia diberikan keselamatan dan kebahagiaan)." Kata Kudamerta memberi salam. Tangannya ditangkupkan di depan dadanya sebagai bentuk penghormatan kepada para hadirin. 

"Terimakasih atas kedatangan para tetamu yang saya hormati. Saya Kudamerta, diutus oleh sinuwun Prabu Jayanegara sebagai raja Wilwatikta yang menggantikan Prabu Wijaya. Saya diutus ke Bali untuk membentuk pemerintahan baru yang sekarang sedang vakum karena ketiadaan kepemimpinan sepeninggal Prabu Shri Hyang ning Hyang Adidewa Lancana. Saya juga diutus untuk mengajarkan ketatanegaraan, pengelolaan keuangan negara dan pengaturan hukum sebagaimana yang termaktub dalam kitab Kutaramanawa Dharmasastra."

"Rahayu.. Rahayu.. Kami semua siap untuk belajar dan mendapat pengarahan dari paduka." Kata Sri Walajaya Kartaningrat sambil memberi salam hormat.

"Rahayu.. Rahayu... Begitu juga dengan kami.. Kami sedia mendapat pengarahan dari paduka untuk kebaikan kita semua.." Kata Shri Bhatara Mahaguru Dharmatunggu Warmadewa.

"Terimakasih atas penerimaan yang sangat baik ini. Sebelumnya saya ingin menyerahkan upeti tanda persahabatan dari sinuwun Prabu Jayanegara kepada paduka." Kata Kudamerta sambil memberikan tanda kepada Laksamana Nala untuk menyerahkan upeti yang mereka bawa dari Wilwatikta. Laksamana Nala memerintahkan jajarannya untuk menyerahkan upeti-upeti tersebut kepada para petinggi Bali dan resi Dang Hyang Subali. Mereka menerima dengan gembira.

Usai pemberian upeti, Kudamerta dibantu oleh beberapa Mpu Kuturan** memaparkan tentang proses peradilan dan ketatanegaraan serta pengelolaan keuangan kerajaan. Semua pemaparan itu didengar dan diperhatikan dengan tertib oleh para hadirin. Para cantrik dan petugas pencatat semua mencatat dengan teliti.

Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang