Bab 32 Membangun Istana

30 1 0
                                    

Malam di karesian Medander suasana sangat hening dan sepi. Tidak terdengar suara apapun kecuali nyanyian jangkrik bersahut-sahutan. Tampak Prabu Jayanegara sedang bersemadi di kamarnya. Sebagaimana kamar karesian, kamar itu sangat sederhana. Hanya terbuat dari jalinan bambu yang dijalin di kuda-kuda kayu. Tidak ada kasur diatasnya, hanya sebuah bantal tipis sebagai penyangga kepala.

"Kakang.. "

"Masuklah.."

Dyah Wyat masuk ke kamarnya. Ia memperhatikan pakaian kakaknya. Tampak sang prabu mengenakan pakaian karesian yang sangat sederhana. Hanya selembar kain dililitkan di kakinya sebagai celana. Ia tak mengenakan selembar kainpun untuk menutupi dadanya. 

"Kakang.. Aku sedih melihatmu seperti ini.." Katanya sambil duduk di pembaringan sang kakak.

"Kakang, apa yang sedang kakang lakukan ? Kakang mendoakan Gajah Mada ?"

Sang prabu menarik nafas panjang.

"Sejujurnya aku tidak memikirkan itu. Aku menyerahkan persoalan ini kepada Sanghyang Tuhan."

"Kakang, aku teringat cerita ayah. Dulu ayah berkelana dari hutan ke hutan tak tentu arah, setelah terusir dari istana Kutaraja.. Kita sekarang seperti itu.."

"Ya, benar.. Kau sedih ?" Tanyanya sambil membetulkan anak rambut di dahi adiknya.

"Tak apalah selama kita selalu bersama. Aku harap kita selalu bisa berkumpul sebagai keluarga." kata Dyah Wyat.

"Hm.. Aku juga sama.. Selama kita selalu bersama, susah senang kita tanggung bersama.. Rasanya beban apapun terasa lebih enteng.." Kata Jayanegara.

Tak lama datang Gitarja bergabung.

"Ternyata kalian sedang berada disini."

"Iya, kangmbok. Kami sedang membicarakan ayah. Situasi kita sekarang tak ubahnya dengan situasi ayah."

"Ya betul.."

"Tapi selama kita bersama, kita selalu kompak dan bahagia."

Gitarja tersenyum.

"Tentu.. Aku sayang dengan kalian semua."

"Aku juga sayang dengan kangmbok dan kangmas."

"Aku pun sayang dengan kalian berdua."

Mereka bertiga berpelukan dengan penuh keharuan. Sang prabu terharu merasakan ketulusan dan cinta kasih saudara-saudaranya. Mereka adalah orang-orang yang tulus murni menyayanginya, tanpa embel-embel apapun, siapapun dirinya. 

Lewat tengah malam terdengar derap rombongan kuda datang. Gajah Mada dan beberapa tamtamanya kembali sambil membawa kuda-kuda untuk gustinya. Setibanya di karesian ia melaporkan semuanya kepada sang resi dan semua gustinya.

"Jadi Ra Kuti sudah tewas ?"

"Begitulah bapa."

"Sinuwun, hamba rasa paduka sebaiknya datang ke istana malam ini untuk memberikan rasa aman kepada rakyat. Datanglah. Paling tidak kehadiran sinuwun akan membuat mereka merasa aman, bahwa kerajaan ini masih memiliki pemimpin."

"Benar, sinuwun. Mari hamba antar kembali ke istana. Tapi paduka jangan terkejut karena istana sudah habis terbakar, hanya tersisa istana utama saja."

"Begitukah ? Ya baiklah. Kalau begitu saya pamit dulu bapa resi. Terimakasih atas bantuan bapa kepada kami."

"Terimakasih kembali, sinuwun. Mari hamba antar ke halaman."

Prabu Jayanegara dan kedua saudaranya berangkat ke istana Majalengka menggunakan kuda. Betapa senangnya seluruh penghuni istana melihat rajanya masih hidup dan bahkan segar bugar. Mereka semua bersimpuh dan menyembah. 

Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang