Suara para pemuda berlatih olah kanuragan terdengar dimana-mana. Begitu riuh. Ada yang berlatih pedang, ada yang berlatih tombak, ada yang berlatih memanah, banyak juga yang berlatih tangan kosong. Semua sibuk dan tampak bersemangat. Keringat mengucur di tubuh-tubuh mereka. Kulit mereka gelap karena terbakar matahari. Namun sengat matahari tidak diindahkan. Semua bersemangat melakoni latihannya masing-masing.
Beberapa pengawas berjalan berkeliling, mengawasi mereka. Apabila ada gerakan yang salah segera dibetulkannya. Orang yang tidak tahu pasti akan mengira tempat itu suatu kemandalaan (pelatihan). Siapapun tidak akan mengira kalau tempat itu adalah markas pemberontak pimpinan Ra Kuti.
Dari kejauhan tampak seekor kuda berderap mendekat. Ra Kuti memacu kudanya masuk ke salah satu rumah. Ia menyerahkan kudanya kepada salah seorang pemuda di halaman dan bergegas masuk.
"Ada apa kang ? Kau terburu-buru ?" Tanya Ra Banyak.
"Sinuwun Prabu akan bertapa di sungai Brantas. Ini kesempatan kita menduduki istana." Kata Ra Kuti.
Semua yang ada di rumah itu berdiri dari duduknya. Mereka terkejut mendengar berita Ra Kuti.
"Setiap tahun memang sinuwun bertapa di sungai Brantas mengikuti jejak leluhurnya. Betul juga. Ini kesempatan kita." Kata Ra Banyak.
"Sinuwun Bhre Daha sedang kembali ke Daha. Istana kosong. Hanya ada Halayuda dan ibu suri. Kalian sudah siap bukan ?" Tanya Ra Kuti.
"Siap !!" Jawab mereka serentak.
"Bagus ! Kita persiapkan semuanya dengan teliti. Ingat, ini adalah gerakan besar. Jangan sampai ada titik lemah dalam gerakan kita." Kata Ra Kuti.
"Betul.. Kang, kenapa kita lakukan gerakan kita saat sinuwun tidak ada ? Apakah dengan menduduki istana kita bisa mendapatkan wewenang untuk memimpin kerajaan ?" Tanya Ra Wedeng bingung.
"Kau ingat gusti Nambi yang sakti itu gugur di tangan sinuwun ? Ia mewarisi ilmu Lembu Sekilan dari ayahnya. Ajian itu membuatnya menjadi kebal. Aku ingin kalian menenggelamkannya di sungai Brantas. Kita bagi 2 pasukan. Sebagian pasukan bertugas membunuhnya. Sebagian pasukan lagi bertugas menguasai istana." Jelas Ra Kuti.
"Ya, kita harus menguasai istana. Istana adalah lambang pucuk kekuasaan tertinggi. Barangsiapa yang menduduki istana dialah secara de yure dan de facto adalah penguasa Wilwatikta. Kalaupun dia ternyata masih hidup, ia tidak akan bisa menjadi raja lagi. Mana ada raja tanpa singgasana ?" Tanya Ra Yuyu.
"Hmm.. Benar juga katamu. Di kerajaan Galuh Sunda pun barangsiapa yang menduduki singgasana, dialah rajanya. Kalau tidak duduk di singgasana batu keramat itu ya tidak akan diakui sebagai raja. Raja halu sih iya." Kata Ra Wedeng.
"Hahahaa... Memang betul.. Karena itu kita harus menduduki istana. Kita harus singkirkan dia. Yuyu, Wedeng, kalian bisa bunuh dia di sungai ? Kau hancurkan saja rakitnya. Hujani dia dengan anak panah. Masakan dia tidak mati tenggelam ? Kau tahu kan betapa derasnya air sungai Brantas ?" Tanya Ra Kuti.
"Siasatmu hebat sekali ! Betul ! Kita panahi dia. Serang dari segala penjuru mumpung dia sedang bertapa. Dia pasti tidak waspada. Lagipula tidak ada seorangpun sesakti dia di istana. Halayuda itu siapa ? Dia cuma orang asing. Orang asing tidak sepintar kita kalau soal olah kanuragan. Apalagi hulubalang-hulubalang ibu suri, mereka semua cuma orang tua - orang tua pikun yang jalan saja sudah membungkuk." Kata Ra Banyak.
"Kau pintar sekali, kang Kuti ! Kita akan menggulingkan pemerintahan si Kalagemet !!" Seru Ra Yuyu sambil mengepalkan tangannya.
Kalagemet adalah julukan untuk mengejek Jayanegara. Kalagemet berarti orang jahat yang lemah. Dikatakan lemah karena ia gampang dipengaruhi oleh orang sekitarnya terutama ibu suri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Ficção HistóricaIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...