Bab 12 Gajah Mada

306 3 2
                                    

Sepulangnya dari Majalengka, hati Gayatri terus-menerus gundah. Sebagai seorang yang berpikiran luas, ia khawatir dengan keadaan kerajaan yang telah dibangun dengan susah payah oleh suaminya. Ia khawatir kerajaan ini akan runtuh ditangan putranya. Ia menyadari betapa karakter Jayanegara yang tidak dewasa, tidak berpikir panjang, mudah dipengaruhi dan keras kepala akan sangat membahayakan bagi kelangsungan kerajaan ini. Namun untuk membuat suatu perubahan frontal, ia tidak berani mengingat pada wasiat suaminya dan terutama Jayanegara memiliki banyak tamtama dari Dharmasraya. Ia dilindungi oleh mereka. Bisa-bisa terjadi perang saudara bila ia salah melangkah.

Gayatri berpikir keras. Ia tidak mungkin menyerah begitu saja. Ia harus mencari akal untuk melindungi kerajaan ini. 

Setelah lama berpikir, ia masih tidak mendapat jalan keluarnya. Gayatri segera mengambil air suci untuk bersuci. Setelah itu ia bersemadi memohon jalan keluar dari Sanghyang Tunggal.

 Setelah itu ia bersemadi memohon jalan keluar dari Sanghyang Tunggal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gayatri

Beberapa bulan berlalu..

Di istana Majalengka, Yue Hua duduk di kursi di taman istana. Tangannya meremas-remas saputangan pemberian ibunya. Saputangan itu terbuat dari kain sutra berwarna putih berhiaskan sulaman sepasang burung cantik. Ia teringat pada pesan ayahnya, "Hua, jagalah dirimu di istana. Baik-baiklah kau disana. Kau harus pintar-pintar membawa dirimu. Ingat, nasib keluarga besarmu ditanganmu. Jangan sampai kau berbuat kesalahan disana." 

Jantung Yue Hua berdebar kencang. Ia memikirkan nasibnya di istana ini. 

"Hua, kau dipanggil sinuwun." kata bibi Cempaka mengagetkannya. 

"I..Iya bibi.."

Hua berjalan dibelakang bibi Cempaka. Mereka berjalan menyusuri lorong istana menuju kamar tidur baginda. 

Pintu kamar terbuka. Cempaka berjalan masuk diiringi Yue Hua. Mereka bersujud dan menyembah hormat pada rajanya. Prabu Jayanegara tampak duduk di kursi. Tangan kirinya diletakkan diatas meja dengan sebuah buku lontar di telapak tangannya. Meja dan kursi itu terbuat dari kayu jati kokoh dengan ukiran naga indah meliuk-liuk. Naga adalah binatang yang disakralkan karena merupakan representasi dari Batara Baruna, seorang dewa sakti yang menguasai samudera. Sang prabu yang  masih remaja itu tampak tampan dan kharismatik dengan pakaian kebesarannya. Ia tampak seperti dewa yang turun ke bumi.

"Sinuwun, hamba mengantarkan Yue Hua." kata Cempaka sambil menyembah. 

Jayanegara mengangkat tangan kanannya dan mengibaskan telapak tangannya, menyuruh Cempaka pergi. Cempaka menyembah, berlalu dan menutup pintu.

Prabu Jayanegara meletakkan bukunya dan memperhatikan gadis di hadapannya. Gadis itu sungguh cantik. Kulitnya putih seputih pualam. Wajahnya bagaikan tetes air dengan dagu lancip. Sungguh kecantikan yang tidak biasa.

 Sungguh kecantikan yang tidak biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Prahara MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang