Bab 33

1.6K 184 34
                                    

Selama tiga bulan ini semua berjalan lancar, bahkan Jaka sudah kembali bersikap seperti biasa kepada orang tua Jaka.

Jaka juga mulai sering bermain dengan anak Yuna yang semakin menggemaskan.

Malamnya saat mereka pulang dari menonton bioskop dan juga membeli pakaian serta sepatu baru untuk Jaka, Sita mengutarakan niatnya.

"Mas." Jaka menoleh.

"Ya?"

"Lucu ya anaknya Yuna," ujarnya. Jaka mengangguk.

"Aku pengen, Mas," rengek Sita manja. Jaka mengerutkan keningnya heran.

"Mau apa?"

"Mau punya anak lucu kaya ponakan kita," jelasnya antusias.

Sita terdiam saat ia melihat ekspresi Jaka yang nampak murung.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Sita. Jaka menggeleng.

"Kita pulang yuk," ajaknya dan langsung bangun begitu saja. Meninggalkan Sita di belakang tanpa peduli padanya.

Sita berjalan seorang diri di belakang suaminya tentu dengan pikiran berkecamuk.

Di rumah mereka tak banyak bicara satu sama lain. Sita benar-benar heran, tapi ragu untuk bertanya.

Sampai pada akhirnya Jaka memanggil Sita untuk duduk bersamanya.

Dengan ragu Sita menurut, ia terduduk dalam diam dengan situasi yang tak ia sukai.

"Sita," gumam Jaka. Sita tak menjawab.

Jaka memberanikan diri untuk meraih jemari Sita, tangannya nampak gemetar.

Ia tatap wajah Sita lalu ia usap.

"Kita ... Cerai ya." Otak Sita langsung kosong seketika. Seolah ia tak berada di sana.

"Sita, sita ...." Jaka berusaha menyadarkan Sita dari keterkejutannya.

"Kamu bilang apa tadi, Mas. Kurang denger aku," kata Sita. Jaka menghela nafas.

"Aku tau kamu dengar, dan aku serius dengan itu."

"Kenapa? Apa alasannya?" Akhirnya Sita mengalah dan bertanya soal itu.

"Kamu bilang ingin punya anak, aku tidak bisa, Sita." Sita melongo.

"Kamu minta cerai hanya karena aku minta anak?!" Sita hampir teriak kalau tidak buru-buru menahan diri.

Jaka menunduk. "Maafkan aku."

"Nggak masuk akal, Jaka!"

"Ya, memang tidak masuk akal, tapi memang itulah alasannya. Aku trauma melihat mu hamil dan melahirkan. Aku trauma melihat anak-anak kita tidak ada yang selamat saat dilahirkan. Tidak, aku tidak sanggup."

"Alasan! Itu bukan sebuah hal yang bisa kamu pakai untuk menceraikan ku, Jak!"

Jaka benar-benar terdiam. Sita bahkan tak sanggup untuk menangis, ia tak sangka jika akhirnya perceraian tetap menjadi jalan utama rumah tangganya.

"Bisakah kamu pikirkan ulang tentang cerai ini?" tanya Sita.

Dengan lemah Jaka menggeleng. Sita menarik nafas dalam.

"Kenapa? Kamu punya wanita lain?"

"Tidak!"

"Lalu?"

"Aku hanya merasa, kita cukup sampai di sini."

"Kenapa? Kenapa harus sekarang saat kamu minta kembali lagi padaku! Kenapa harus sekarang saat aku menerima mu kembali! Kenapa tidak dari dulu saat kamu di kampung, kenapa!!!" Sita tak mampu lagi meredam amarahnya.

Ia benar-benar kecewa.

"Maaf." Hanya itu yang keluar dari bibir Jaka.

"Jahat! Kamu jahat, Jaka!"

Jaka diam dengan kepala tertunduk.

"Apa yang harus aku katakan pada orang tuaku? Apa kata orang tuamu? Bagaimana aku menghadapi ini semua setelah menjadi janda? Bagaimana?"

Sita seperti orang linglung. Tapi, Jaka benar-benar tak mau bicara lagi.

Sita menyerah, ia usap air matanya dan menatap Jaka.

"Kita cerai tanpa ada masalah ya?" ucap Sita.

"Ya."

"Aku tak salah apapun sampai membuatmu muak dan mengajakku bercerai."

"Ya."

"Kita pisah baik-baik."

"Iya."

"Urus perceraiannya, aku akan tanda tangani." Barulah Jaka mengangkat kepalanya dan menatap Sita.

"Kamu yang urus." Sita melotot.

"Bagaimana bisa, kamu yang minta cerai dariku, tapi kamu ingin aku yang mengurusnya? Jangan kelewatan, Jak!"

"Maaf, tapi keluarga mu lebih paham soal itu dibandingkan aku yang pendatang. Maaf."

"Oke, uangnya. Aku butuh uang untuk biayanya."

"Aku tidak punya."

Sita melotot. "Apa sih maumu!!!!"

Jaka tak menjawab, ia berdiri dan bersiap membuka pintu.

"Aku serahkan hal ini padamu, dan untuk harta gono-gini aku harap kamu tak mengharapkannya dan motor, tolong, jangan coba dijual karena aku sangat membutuhkan motor untukku bekerja. Toh, motor itu sudah atas namaku sekarang."

Jaka buka pintu dan pergi dari sana. Meninggalkan Sita seorang diri dalam rasa shock yang amat sangat besar.

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang