Bab 35

2K 226 11
                                    

Orang tua Sita tersentak mendengar berita itu. Sita sendiri sudah tak lagi meneteskan air mata, ia sudah lelah menjadi rapuh.

Namun, justru Yuna lah yang paling terpukul atas berita tersebut. Ia sudah menganggap Jaka sebagai kakak kandungnya sendiri, laki-laki pertama yang ia anggap sebagai kakak.

Ia merasa dikhianati olehnya. Betapa Yuna percaya pada sosok Jaka. Ternyata ia hanyalah seorang pria pengecut. Yuna tak lagi respect pada Jaka.

"Cerai saja! Kenapa juga kita baru tau soal rumah tanggamu. Bagaimana bisa kamu menanggung itu semua sendiri, Mbak! Kita ini keluarga, bicarakan jika kamu tidak sanggup, kenapa baru sekarang?"

Yuna benar-benar dilanda amarah. Sita menghela nafas melihat adiknya yang selalu menggebu-gebu itu.

"Maaf, toh semua sudah terjadi, dan Mbak harap rumah tanggamu tidak akan seperti Mbak. Mbak percaya kamu lebih baik dariku."

Yuna tak tersanjung dipuji seperti itu. Ia justru menangis karena kakaknya adalah wanita terbaik menurutnya, bagaimana ia bertahan selama ini, selalu mengatakan hal baik tentang suaminya.

Tapi ternyata dibalik itu semua Jaka menyakitinya.

Sita pamit pulang, dengan doa dan dukungan orang tua. Papa juga meminta Sita untuk mengatakan pada Jaka agar menemui mereka dan mengatakannya baik-baik.

Sita hanya mengangguk walau ia enggan untuk berkomunikasi dengan Jaka. Ia terlalu membencinya.

****

Sita bekerja seperti biasa ia masih merahasiakan keputusannya untuk bercerai. Ia tetap menjaga suaminya dari pandangan orang yang akan berfikir buruk.

Semua teman Sita hanya tau jika Sita baik-baik saja dengan suaminya.

"Ta, pulang mau karaoke nih, Jaka ngijinin gak?" tanya salah satu temannya.

"Nanti aku ijin dulu, kalau boleh aku kabari," jawab Sita seolah ia akan melakukan hal itu dengan ijin Jaka.

"Oke, deh."

Mereka kembali bekerja sampai istirahat makan siang. Lalu Sita diberikan sebuah botol minum dingin.

"Dari Heri," tebak Sita dengan cengiran.

"Tepat! Anda mendapat poin 100."

"Terima kasih-terima kasih." Mereka tertawa karena sudah terbiasa mendapatkan traktiran dari Heri.

Waktu pulang tiba Sita mengatakan jika suaminya mengijinkan dirinya untuk pergi karaoke. Semua bahagia mendengarnya.

Mereka bersama-sama berboncengan menuju mall terdekat. Penat membuat mereka ingin refreshing agar tak stres.

Hal itu pulalah yang dibutuhkan Sita saat ini. Mereka berkaraoke sembari berjoget kecuali Sita dan Heri.

Mereka saling pandang heran.

"Nggak ikut bang?" tanya Sita.

"Nggak bisa," jawabnya singkat.

"Tinggal nyanyi doang." Heri tersenyum kecil.

"Kamu sendiri nggak ikutan?"

"Lagi sariawan," jawab Sita seenaknya. Tapi Heri menanggapi itu dengan serius. Dan entah kenapa Sita justru tertawa karena kepolosannya.

"Kok ketawa?" tanya Heri heran.

"Nggak apa-apa." Sita mengalihkan perhatian dari Heri agar ia tak membuat Heri tersinggung.

"Sit." Sita menoleh. "Ya?" jawabnya.

"Boleh tanya sesuatu."

"Apa?"

"Sudah berapa lama kamu menikah?" tanyanya yang tumben membahas soal pribadi.

"10 tahun," jawab Sita ceria.

"Wah, sudah lama ya." Sita hanya mengangguk.

"Ehm, bagaimana dengan anak? Maaf." Heri nampak berhati-hati.

"Dua kali gagal, anakku meninggal."

"Oh, sorry, sumpah nggak tau."

"Nggak apa-apa."

Mereka saling diam lagi. Seakan suara nyanyian dan musik tak ada diantara mereka.

"Sita, sekali lagi saya minta maaf."

"Santai aja bang."

"Ehm, boleh saya lanjut tanya?"

"Ya, silahkan saja."

"Apa yang membuat rumah tangga harmonis?" pertanyaan itu justru menjadi pertanyaan dibenak Sita. Ia menahan senyum pedih karena ditanya soal itu.

Padahal ia sedang dalam masa perceraian. Bukannya menjawab ia justru termenung.

"Aku salah ya?" Sita tersentak dan buru-buru menggeleng.

"Kayaknya aku ngantuk deh, jadi agak nggak konsen diajak ngobrol."

"Oh, maaf kalau gitu."

Tak lama acara mereka pun selesai dan pulang dengan ceria kecuali Sita dan Heri.

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang