Bab 26

26.9K 766 42
                                    

Jaka menguburkan anaknya di kampung halamannya. Sementara Sita masih menunggu pemulihan. Sita masih di rawat dan Yuna sudah kembali PKL. Sita merebahkan diri di ranjang, dengan pandangan kosong. Ia melihat ke arah box bayi yang harusnya ada isinya. Ini nampak kosong. Mama melihat hal itu mencoba untuk menenangkan Sita.

Mama menyuapi Sita untuk sarapan. Dengan malas Sita memakan sarapannya. Tak lama terdengar suara berisik dari luar. Mama melongok sembari menyibak hordeng pembatas ruang rawat. Terlihat seorang ibu-ibu yang nampak kepayahan seperti mau melahirkan. Dan ya...mereka masuk ruang bersalin.

"Ada apa ma?" Tanya Sita penasaran. Mama diam. Menyuapi Sita lagi. "mama ada apa?"
"Enggak ada apa-apa."
"Ada yang mau lahiran ya?" Tanya Sita. Sudah cukup bagi Sita. Dirinya memang sakit. Tapi bukan berarti Sita akan terus terpuruk. Tidak ... Sita bukanlah orang seperti itu. Tidak akan terpuruk terlalu lama. Lagi pula Sita ingat ucapan Yuna. Jika Sita terus sedih bagaimana dengan anaknya di sana?

Justru anaknya lebih bahagia di pangkuan Allah dibanding dengan dirinya. Yuna juga bilang, Allah masih sayang Sita. Sebab apa? Jika orang lain yang mengalami hal seperti Sita, mereka sudah di pastikan meninggal. Bagaimana tidak? Kondisi tubuh sudah kehabisan darah, lemas tak bertenaga. Di obras secara brutal untuk bisa mengeluarkan tubuh sang anak.

Mama saja sampai kalut dan bingung. Bahkan sempat ada kondisi di mana ada dua pilihan. Selamatkan ibu atau anak? Untunglah Jaka dengan cepat teriak. Selamatkan ibu. Dan mama pun mengangguk setuju. Anak masih bisa di usahakan tapi kalau nyawa anaknya bagaimana?

Mama sekarang bernafas lega. Karena Allah tidak membawa keduanya. Mama mengusap rambut sita dengan penuh kasih sayang.

🍁🍁🍁

Sita menahan tangisnya. Ia harus bersikap kuat. Apa lagi ada mamanya di samping. Ia tak boleh keliatan lemah. Sita harus terus tersenyum. Tak boleh terus terpuruk. Terlebih saat melihat dan mendengar suara tangis bayi dari kamar sebelah.

Sita menahan diri untuk tidak teriak dan bilang ini tidak adil!! Tidak...ini yang terbaik, Allah tahu jalan yang terbaik. Sita mengatur nafasnya. Dan mencoba memejamkan matanya saat mama kembali ke kamarnya. Ia tak mau mama lebih sedih bila melihat Sita yang menahan tangisnya.

Mama duduk dan merapihkan meja tempat menaruh berbagai makanan dan minuman. Tak lama suara Yuna terdengar. Namun langsung terhenti saat melewati kamar yang ada bayinya. Sita kembali menahan tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya. Yuna pasti juga sedih melihat ada bayi di sana. Tapi ibu bukan keponakannya.

"Mbak Sita!!" Seru Yuna. Sita mencoba membuka mata dan bersikap biasa.
"Udah Dateng kamu?"
"Iya dong. Oh ya, ini aku beli buat mbak." Yuna menyodorkan sesuatu dari tangannya. Sita memperhatikan dan mengambilnya. Lalu tertegun.
"Apa ini?"
"Seperangkat alat makeup."
"Biar Mbak nggak pucat dan terus cantik?" Tebak Sita. Yuna nyengir.
"Ialah...apa lagi? Mbak ku itu paling cantik masa sekarang pucat pasi nggak jelas gini. Yuna malu tau punya mbak yang jelek."

"Songong!" Sita menjitak Yuna. Yuna nyengir sembari mengusap kepalanya. "Mama mana?" Tanya Sita yang tak melihat mama.
"Cari makan buat aku,"jawab Yuna.
"Emang kamu belum makan?"
"Belumlah, dirumah siapa yang masak?"
"Kamulah belajar."
"Nanti aja kalau udah nikah baru belajar masak."
"Bego! Dimana-mana tuh sebelum nikah belajarnya."

Yuna manyun. Perasaan Yuna salah mulu.
"Bodo ah, lagian kaya ada yang mau sama Yuna aja?"
"Makanya berubah kamu tuh, dandan dikit kek."
"Yaelah mbak, masih sekolah ini Yuna. Ya kali aku ke sekolah pakai lipstik ala-ala cabe-cabean?"
"Bego! Ya yang natural aja lah."
"Ah ribet."

Sita menghela nafas. Ia baru sadar kalau ada adiknya. Tanpa sadar Sita bisa melupakan kesedihannya. Sita menatap sang adik yang masih manyun karena merasa terus di salahkan. Sita tersenyum kecil.

"Nanti mbak ajarin dandan." Yuna menatap Sita dengan pandangan tak percaya.
"Kenapa kamu?"
"Mbak sehat?"
"Sehat?"
"Kok aku merasa otak mbak agak gesrek dikit?"
"Kenapa emang? Ada yang salah?"
"Banyak?"
"Apaan?"
"Mendadak mau dandani gue? Lo kira gue bahan percobaan Lo? Ogah gue." Yuna langsung bangun dan pamit keluar. Sita menahan tawanya.

Bilang aja Lo nggak pede gue dandanin dek. Segala ngatain gue gesrek.

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang