melamar bagian 1

2.1K 224 6
                                    

Bang Jigo terus mendesak Heri untuk berani berkunjung ke rumah Sita. Bukan kosan tapi rumah orang tua Sita.

Awalnya Heri menolak sebab mengira terlalu terburu-buru. Ia baru saja dekat dengan Sita, diberi kesempatan, kalau langsung ke orang tua, ia takut Sita kembali menjauh.

Bang Jigo menepuk pundak Heri sore itu. Heri menoleh heran.

"Kamu ini laki-laki, duda pula. Apa yang kau tunda? Mau menunda sampai Sita kembali memiliki suami?" Heri bergegas menggeleng.

"Maka dari itu, cepatlah! Jangan sampai kau ketinggalan kereta karena terlalu banyak fikir."

"Tapi, Bang."

"Tapimu itu buanglah dulu. Cinta tidak kau dengan Sita?"

"Ya, cinta Bang."

"Nah, sudah, gerak cepat."

"Heri ragu kalau langsung ke rumah orang tuanya. Apa Sita akan mengijinkan?"

"Belom dicoba mana Abang tau!" Heri menghela nafas lalu melihat jam tangannya.

"Ya sudah, nanti dicoba. Heri masuk kerja dulu."

"Ya, semangat kau ya."

"Ya, Bang!"

Heri berjalan masuk lalu matanya menangkap sosok Sita di samping restoran. Ia mengerutkan kening heran. Ia pun mendekat ke arah Sita yang nampak kebingungan.

"Sita, ada apa?" tanya Heri yang membuat Sita tersentak kaget. Wajahnya agak pucat.

"Ta?"

"Nggak apa-apa kok."

"Kok pucat mukamu?"

"Urusan perempuan." Dan Heri langsung paham.

"Menstruasi?" tebak Heri membuat Sita melotot malu.

"Apa sih, nggak!"

"Nggak usah malu, biar aku belikan pembalut ya?" Sita panik.

"Jangan!"

"Udah, diam di situ." Heri bergegas pergi ke minimarket sebelah resto. Ia membeli pembalut tanpa rasa canggung sama sekali. Kemudian ia berikan pada Sita yang hampir menangis.

"Pakai itu. Aku juga beli tisu basah." Bagaimana bisa seorang laki-laki paham apa yang ia butuhkan saat seperti ini?

Sita menatap Heri yang pergi ke dalam resto meninggalkan dirinya untuk membersihkan diri.

****

Pulang kerja Sita menunggu Heri di depan resto. Heri menatap tak percaya dengan apa yang tengah ia lihat.

"Terima kasih untuk tadi sore," ucapnya.

Heri hanya tersenyum kecil. "Sudah lebih baik?" tanyanya. Sita mengangguk. "Syukurlah."

"Bagaimana kamu paham soal itu?"

"Aku punya Kakak perempuan dan pernah punya istri perempuan juga, " jelasnya sembari nyengir kuda. Sita menahan tawanya mendengar itu. Heri jadi salah tingkah melihat tawa Sita.

Ingin rasanya ia rengkuh dalam pelukan. Heri langsung melihat ke arah lain, ia tak sanggup melihat Sita yang terlihat begitu cantik.

"Yaudah aku pulang dulu ya," ujar Sita.

"Eh, aku antar aja."

"Nggak usah, ngerepotin."

"Nggak kok." Dengan sigap Heri memberikan tumpangan membuat Sita tak enak menolaknya. Akhirnya mereka pulang bersama walau beda arah.

"Terima kasih, Bang," ucap Sita setelah sampai depan gang.

"Kenapa nggak mau diantar sampai rumah?" tanyanya.

"Nggak enak dilihat tetangga." Selalu itu sebagai jawaban Sita. Heri menghela nafas dan dengan keberanian tingkat tinggi ia raih jemari Sita. Membuat Sita tersentak kaget.

Sita yang hendak menegur Heri langsung mengurungkan niatnya kala melihat wajah Heri yang begitu serius.

"Ta, kita bukan anak abg lagi, bukan remaja yang layak menjalani masa-masa perkenalan dan pacaran. Jujur, Ta. Kamu sudah tau perasaan ku selama ini. Aku tidak mau munafik untuk terus bersabar menunggu sikapmu. Aku ingin serius, Ta. Kamu mau menjadi istriku, Sita?"

Sita tersentak dan langsung melepaskan tangan Heri. Dada Sita berdenyut sakit. Bahkan air matanya tumpah tanpa bisa ia cegah.

"Ta?"

"Maaf, aku butuh waktu untuk ini." Sita membalikkan tubuhnya dan berlari menuju kosan.

Heri menatap hampa tubuh wanita yang ia cintai. Tubuh yang semakin lama semakin tak terlihat dari pandangannya.

Kurang sabarkah ia?

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang