Bab 29

1.3K 145 9
                                    

Hari-hari Sita semakin suram, ia bahkan tak minat untuk makan. Tumbuhnya mulai kurus dan ia enggan untuk pulang ke rumah orang tuanya.

Ia terlalu malu dengan keadaannya seperti ini. Ia tak mau membuat orang tuanya semakin khawatir.

Ia bekerja dengan wajah tersenyum tapi hatinya penuh kegelisahan.

"Sita, buat kamu." Sita tersentak kaget saat melihat sebuah botol minum rasa greentea di depan matanya.

"Terima kasih, tumben kamu beliin?" gurau Sita.

"Bukan aku."

"Terus siapa?"

"Kak Heri." Sita langsung mencari sosok Heri yang tengah membagikan minuman kemasan ke teman yang lainnya. Tanpa sadar Sita tersenyum.

Sita kembali bekerja seperti biasa karena banyaknya pelanggan.

Saat istirahat Sita kembali mendapatkan sekotak nasi KFC. Dengan riang Sita makan karena gratis.

"Ini ada acara apa sih, kok tumben banget dapat minum gratis, dapat makan gratis. Cerita-cerita dong, ada apaan?" tanya Sita penasaran.

"Dengar-dengar sih, Kak Heri mau nikah."

"Oh ya?" Mereka mengangguk cepat.

"Wah, akhirnya tuh orang nikah juga, hihihi." Sita di senggol temannya karena mengatakan hal itu.

"Maaf-maaf." Mereka melanjutkan makan siangnya dan kembali bekerja seperti biasa sampai waktu pulang tiba.

****

Sita pulang jalan kaki setelah semua temannya pulang. Karena ia tak mau semua orang tau jika ia tengah ada masalah dengan suaminya.

Ia terus berjalan seorang diri di malam yang dingin nan sepi. Tapi entah kenapa ia lebih nyaman.

"Sita!" Sita tersentak dan langsung menoleh.

"Heri?"

"Ngapain jalan kaki? Suami kamu mana?" tanyanya heran.

"Kerja lembur," jawabnya cari aman.

"Oh, kenapa sendiri, nggak bareng yang lain?"

"Karena nggak tau kalau suami lembur. Dadakan ngabarinya."

"Ya ampun, yaudah bareng yuk," ajaknya.

"Nggak usah makasih. Aku bisa sendiri kok."

"Bukan masalah sendiri atau nggak. Ini masalahnya kamu cewek dan jalan di tempat sepi. Nggak ngeri apa?"

"Nggak."

"Sita ...."

"Aku nggak apa-apa, Kak Heri. Makasih banyak."

Sita lanjut jalan yang membuat Heri akhirnya membuntuti dari belakang tanpa sepengetahuan Sita.

Bagaimanapun ia adalah laki-laki yang tak mungkin membiarkan teman wanitanya pulang dalam kondisi sendiri di tempat sepi.

Ia masih punya hati nurani untuk menemani setidaknya memantau sampai ia tiba di rumah dengan selamat.

****

Sita selesai mandi malam itu dan saat ia masuk ke kamar kos ia tersentak melihat Jaka ada di sana.

"Kirain nggak pulang," ujar Sita.

"Aku mau balik ke kampung." Sita menoleh heran.

"Tiba-tiba?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Mama sakit, nggak ada yang rawat."

"Kan, ada adikmu."

"Kan adikku kerja sama kuliah. Mereka jauh, adik tertuaku juga sibuk sama rumah tangganya."

"Terus kamu nggak sibuk?"

"Sita, jangan ngajak berantem dong."

"Aku nggak ngajak berantem, aku tanya sama kamu doang."

"Terserah lah, aku cuma kasih tau itu aja."

"Sebenernya kamu nggak butuh ijinku juga kan?"

"Ta, jangan keterlaluan ya."

Sita diam dan memilih untuk mengambil baju di lemari. Jaka memperhatikan tubuh sang istri yang hanya terbalut handuk saja.

Ia mendengus dan memilih untuk keluar. Sita melirik dan tak peduli.

"Sialan! Punya istri gitu banget sih!" umpatnya sembari merokok.

"Napa lu, Jak?" Jaka tersentak kaget saat temannya ada di sampingnya.

"Nggak apa-apa."

"Bini lu ya?"

"Nggak usah sok tau."

"Lo kira gue keluar karena apa?" Jaka melirik dan menggeleng.

"Sama kaya lo, bini ribet di rumah. Ngomel mulu."

Merasa mendapat teman senasib Jaka pun menghabiskan malam dengan temannya itu.

Habis sudah cerita soal rumah tangganya. Benar-benar Jaka keluarkan semua.

Dan ia bukan merasa bersalah melainkan merasa lega luar biasa.

Adzan Subuh pun berkumandang dan ia mematikan batang rokok yang tinggal setengah, satu bungkus habis malam itu.

"Gue balik ya." Temannya mengangguk dan mereka pergi ke rumah masing-masing.

****

Jaka benar-benar pergi ke kampung. Ia bahkan tak malu untuk meminta uang tambahan pada Sita. Sekaligus oleh-oleh untuk orang tuanya.

Ia tahu jika Sita tak pernah tega jika sudah menyangkut nama orang tua.

"Salam sama Mama, Papa. Maaf aku nggak bisa pamit langsung." Sita hanya mengangguk saja.

"Aku berangkat."

"Ya, hati-hati."

Jaka mengangguk dan tanpa kecup atau peluk, Jaka pergi mengendarai motornya.

Motor yang belum lunas itu ia bawa ke kampung. Sita menghela nafas, seakan ia tau jika ia akan menanggung beban membayar cicilan motor tanpa bantuan sang suami.

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang